Bode Grey Talumewo : PENGENALAN DASAR MINAHASA DAN SEJARAH MINAHASA (modul SEKOLAH MAWALE)
oleh-oleh dari Sekolah Mawale:
SEKOLAH MAWALE
“REVOLUSI KEBUDAYAAN, MENUJU KEMERDEKAAN SEJATI”
PENGENALAN DASAR MINAHASA
DAN
SEJARAH MINAHASA
OlehBodewyn G. Talumewo
Diselenggarakan oleh: Mawale Cultural Center (Mawale Movement)
Kuranga – Tomohon, 26 – 28 November 2010
DAFTAR ISI
BAGIAN I. PENGENALAN DASAR TENTANG MINAHASA
Bab I. Pengetahuan Geografis
1. Letak geografis, astronomis, administratif
2. Batas dan luas
3. Topografi
4. Gunung, Sungai, Laut, Teluk, Tanjung, dll
Bab II. Pengetahuan Demografis
1. Penduduk
2. Jumlah Penduduk
3. Suku
4. Bahasa
5. Sistem Religi/Agama
Bab III. Pengetahuan Simbol dan Ciri Khas Minahasa
1. Flora Khas
2. Fauna Khas
3. Artefak Kebudayaan Khusus
4. Tarian
5. Alat Musik
6. Pakaian
7. Rumah Adat
8. Lagu Daerah
BAGIAN II. SEJARAH MINAHASA
Bab I. Pendahuluan
1. Historiografi Minahasa
2. Periodisasi Sejarah Minahasa
3. Asal Usul orang Minahasa
Bab II. Mitos dan Legenda
1. Leluhur Pertama: Toar-Lumimuut
2. Kelompok Makarua Siow, Makatelu Pitu, dan Pasiowan Telu
3. Kongres Raya di Watu Pinawetengan
Bab III. Sejarah Minahasa
1. Minahasa pada Masa Kolonial
2. Perang Minahasa-Bolmong
3. Perang Minahasa dengan Bangsa Eropa (Spanyol dan Belanda)
4. Minahasa Masa Pasca Indonesia Merdeka
5. Pergolakan Permesta
Bab IV. Prestasi Anak Bangsa
========================================================
Bab I. Pengetahuan Geografis
A. Letak Geografis, Astronomis, Administratif
Letak Geografis Tanah Minahasa
Minahasa berada di bagian tenggara benua Asia di sub-benua Asia Tenggara. Di jazirah Asia Tenggara membentang Kepulauan Nusantara dari barat ke timur. Salah satu pulau dari kepulauan Nusantara yang sebagian besar berada di dalam pemerintahan negara Republik Indonesia adalah pulau Sulawesi. Pulau Sulawesi sendiri berbentuk huruf ‘k’ dan Minahasa sendiri terletak di bagian ujung Utara kawasan pulau Sulawesi mengarah ke arah Timur-laut.
Letak Astronomis Tanah Minahasa
Tanah Minahasa ini berada di antara 0º 25’ 1’’ – 1º 51’ 40’’ Lintang Utara dan 124º 18’ 40’’ – 125º 21’ 30’’ Bujur Timur.
Batas Bujur Lintang Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota di Minahasa[1]
Daerah Lintang Utara Bujur Timur
Sulawesi Utara 00°15’51” - 05°34’06” 123°07’00” - 127°10’30”
Minahasa 01°01’00” - 01°29’00” 124°34’00” - 125°05’00”
Minahasa Selatan 00°45’30” - 01°22’00” 124°18’00” - 124°54’00”
Minahasa Utara 01°18’30” - 01°53’00” 124°44’00” - 125°11’00”
Minahasa Tenggara 00°50’24” - 01°07’12” 124°33’00” - 124°54’36”
Kota Manado 01°25’43” - 01°38’56” 124°40’55” - 124°55’54”
Kota Bitung 01°23’25” - 01°35’39” 125°01’43” - 125°18’13”
Kota Tomohon 00°15’00” - 00°24’00” 124°44’30” - 125°17’30”
Sumber : Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Utara
Catatan : Dihitung menggunakan Peta Rupa Bumi Skala 1 : 50.000
Letak Administratif Tanah Minahasa
Minahasa terletak di Negara Republik Indonesia. Dari 33 provinsi yang ada di Republik Indonesia, Minahasa termasuk dalam Provinsi Sulawesi Utara. Provinsi Sulawesi Utara sendiri terdiri dari Kabupaten Sangihe, Kabupaten Kepulauan Talaud, Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang dan Biaro (Sitaro), Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Utara (Minut), Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra), Kabupaten Bolaang-Mongondow (Bolmong), Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Kota Manado, Kota Bitung, Kota Tomohon, Kota Kotamobagu.
B. Batas dan Luas
Batas-batas Tanah Minahasa
Bagian Utaranya berbatasan laut dengan Laut Sulawesi dengan gugusan Kepulauan Sangihe dan Talaud dengan batas administratif Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, Biaro (Sitaro). Bagian Barat juga berbatasan laut dengan Laut Sulawesi, bagian Timurnya berbatasan laut dengan Laut Maluku. Sedangkan bagian Selatannya berbatasan darat dengan tanah Bolaang-Mongondow dengan batas administratif Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) dan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim).
Batas-batas administratif tanah Minahasa berdasarkan kabupaten/kota.
Luas Tanah Minahasa
Luas Tanah Minahasa sekitar 5.220 km² atau 4.651,11 km² (di mana Kabupaten Minahasa 1.025,85 km², Kabupaten Minahasa Selatan 1.368,41 km², Kabupaten Minahasa Utara 937,65 km², Kabupaten Minahasa Tenggara 710,7 km², Kota Manado 158 km², Kota Bitung 304 km², Kota Tomohon 146,60 km²).[2] Dengan demikian luas Tanah Minahasa adalah 1/40 luas Pulau Sulawesi.
Menurut laporan buku Godee Molsbergen[3] yang melaporkan pada tahun 1829 luas tanah Minahasa adalah 4.786 km², dengan perincian sebagai berikut:
- Luas tanah Malesung 3.050 km²
- Luas tanah Lewet (dataran Kuala Ranoiapo) 720 km²
- Luas daerah Ratahan, Pasan, Ponosakan 690 km²
- Luas pulau-pulau Babontehu (Manarou, dsk) [4] 26 km²
- Luas daerah kolonisasi 300 km²
Luas seluruh tanah Minahasa 4.786 km²
Provinsi Sulawesi Utara sendiri luasnya 15.277,16 km2 dengan panjang garis pantainya adalah 1.837 km. Dibandingkan dengan luas pulau Sulawesi, yang hanya 1/40 besar pulau, ukuran luas Minahasa masih lebih besar dari beberapa negara kecil di dunia. Masih ada 29 negara yang ukuran luasnya lebih kecil dari luas Minahasa, bahkan ada 5 negara yang luasnya lebih kecil dari Kota Manado dan Kota Tomohon.
Perbandingan luas Tanah Minahasa
Perbandingan Luas Daerah Tanah Minahasa dengan Beberapa Negara Kecil dan Negara Penting lainnya:
Negara Ibukota Letak Luas
Vatikan Vatican City Eropa (Roma) 0,4 km²
Monaco Monaco Eropa Selatan 1,8 km²
Nauru Yaren District Samudera Pasifik 22 km²
Tuvalu Funafuti Samudera Pasifik 26 km²
San Marino San Marino Eropa (Italia) 62 km²
Kota LANGOWAN Langowan Indonesia 125 km²
Kota TOMOHON Tomohon Indonesia 146 km²
Kota MANADO Wenang Indonesia 158 km²
Liechtenstein Vaduz Eropa Tengah 158 km²
Maladewa/Maldives Male Samudera Hindia 298 km²
Kota BITUNG Bitung Indonesia 304 km²
Malta Valetta Laut Mediterania 313 km²
Saint Christopher Basseterre Laut Karibia 320 km²
Grenada St. George's Laut Karibia 344 km²
Kota AMURANG Amurang Indonesia 345 km²
St. Vincent & Grenadies Kingstown Laut Karibia 389 km²
Barbados Bridgetown Laut Karibia 431 km²
Antigua & Barbuda St. John's Laut Karibia 442 km²
Seychelles Victoria Samudera Hindia 443 km²
Andorra Andorra La Vela Eropa Barat 466 km²
Palau Koror Samudera Pasifik 494 km²
Sao Tome & Principe Sao Tome Samudera Pasifik 564 km²
Singapura Singapore City Asia Tenggara 585 km²
Saint Lucia Castries Laut Karibia 616 km²
Bahrain Manama Teluk Persia 660 km²
Kiribati Tarawa Samudera Pasifik 684 km²
Minahasa Tenggara Ratahan Indonesia 710 km²
Mikronesia Pohnpei Samudera Pasifik 721 km²
Minahasa Utara Airmadidi Indonesia 938 km²
Tonga Nuku'alofa Samudera Pasifik 997 km²
Antillen Wellemstad Laut Karibia 1.020 km²
Kab. Minahasa Tondano Indonesia 1.026 km²
Hongkong SAR Hong Kong Samudera Pasifik 1.066 km²
Minahasa Selatan Amurang Indonesia 1.369 km²
dst.....
[1] Badan Pusat Statistik Sulut. 2009. Sulawesi Utara Dalam Angka 2009. Manado, hlm. 5. Data dari Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulut, Dihitung menggunakan Peta Rupa Bumi Skala 1 : 50.000.
[2] Badan Pusat Statistik Sulut. 2009. Sulawesi Utara dalam Angka 2009. Manado. Dalam Watuseke, F.S., 1969. Ilmu Bumi Minahasa. Manado, hlm. 3 disebutkan luas tanah Minahasa adalah 5.273 km².
Topografi
Keadaan tanah Minahasa berbukit-bukit dengan susunan pegunungan yang bervariasi yang membujur dari Barat Daya ke Timur Laut. Tanah Minahasa adalah daerah vulkanis muda sehingga merupakan daerah yang subur.
Mengenai relief, daerah ini dapat dibagi dalam tiga bagian[1] :
1. Jazirah Gunung Klabat
2. Dataran Tondano
3. Dataran Lewet
Dataran Gunung Klabat merupakan dataran yang paling luas dengan mengecualikan Pegunungan Tangkoko–Dua Sudara dan Gunung Klabat itu sendiri, terbentang dari daerah Manado, Tonsea, sampai ke Kema-Bitung.
Dataran Tondano juga merupakan suatu daerah yang besar dan luas, yang merupakan inti kuno/purba dari peradaban Malesung. Di sinilah terdapat kampung-kampung tua di Minahasa. Membentang dari dataran Tombulu yaitu lembah Gunung Lokon, Lembah Danau Tondano, Lembah Minahasa Tengah (Tumaratas). Di sini terdapat pusat dari Tanah Minahasa, yaitu Batu Pinawetengan yang dahulunya disebut sebagai puser in tana’ (pusat tanah Minahasa).
Dataran Lewet sendiri merupakan Lembah Kuala Ranoiapo yang juga dibentengi oleh pegunungan Sinonsayang dan Lolombulan serta pegunungan Wulur Mahatus sebagai tuur in tana’ (tanah/daerah asal usul Minahasa), juga dataran selatan Gunung Soputan.
Ketinggian
Puncak tertinggi di tanah Minahasa adalah gunung Klabat dengan setinggi 1.995 meter di atas permukaan laut. Sedangkan pemukiman tertinggi berada di Rurukan – Tomohon (930 m dpl) dan di Modoinding (1.050 m dpl)
Ketinggian beberapa tempat di Minahasa
Modoinding 1.050 m
Rurukan 930 m
Kakaskasen 813 m
Tomohon 780 m
Sarongsong/Lansot 775 m
Langowan 718 m
Tompasso 710 m
Kawangkoan 695 m
Remboken 673 m
Kakas, Tondano 670 m
Motoling 605 m
Sonder 526 m
Paku-ure 430 m
Tombatu 392 m
Ratahan 335 m
Tompasobaru 325 m
Pontak 260 m
Poopo 240 m
Airmadidi 212 m
Paniki 60 m
Maumbi 55 m
B. Gunung, Sungai, Laut, Teluk, Tanjung, dll
Gunung tertinggi
Klabat 1.995 m
Soputan 1780 m/1.820 m[2]
Manimporok 1.661 m
Lokon 1.580 m/1.689 m
Rindengan 1.553 m
Tagui 1.550 m/1.520 m
Tampusu 1.500 m
Tatawiran 1.474 m
Lumedon 1.425 m
Lolombulan 1.402 m
Aiseput (Soputan) 1.400 m
Mahawu 1.371 m/1.311 m
Dua Sudara 1.351 m
Tangkoko 1.149 m
Kuala (Sungai) terpanjang
Tabel Kuala Terpanjang di tanah Minahasa
Kuala Ranoiapo 53,8 km
Kuala Poigar 50,4 km
Kuala Tondano 41,1 km
Kuala Talawaan 31,7 km
Kuala Nimanga 26,8 km
Kuala Kalelak 25,0 km
Kuala Tikala 23,5 km
Kuala Kuma 22,3 km
Kuala Sukuyon 21,8 km
Kuala Paniki 21,2 km
Kuala Likupang 21,2 km
Kuala Ranowangko 20,0 km
1. P o i g a r 54,2 km
2. Ranoyapo 51,9 km
3. Tondano 39,9 km
4. Talawaan 34,8 km
5. Nimanga 26,8 km
6. Kalelak 25,0 km
7. Tikala 23,6 km
8. K u m a 22,3 km
9. Sukuyon 21,8 km
10. Paniki 21,2 km
11. Likupang 21,2 km
12. Ranowangko 20,0 km
Sumber: Boy L. Rondonuwu. 1984. Minahasa Tanah Tercinta.
Sumber : Badan Pusat Statistik Sulut. Sulut Dalam Angka 2009, dari Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulut
Danau
Danau Tondano 4.278 ha [3]
Danau Linouw 35 ha
Danau Bulilin 22 ha
Danau Wungangaan 30 ha
Danau Kawelan 8 ha
Danau Mokobang 3,8 ha
Danau Pangolombian 2 ha
Danau Sendow 2 ha
Pulau
Pulau-pulau besar di Minahasa berjumlah 15 buah, yaitu: Bentenan, Lembeh, Bangka, Kinorabutan, Talise, Tindila, Gangga, Naen Besar, Naen Kecil, Mantehage, Manado Tua (yang menyerupai gunung, dengan nama Gunung Manado Tua setinggi 804 m), Bunaken, Siladen, Tatapaan.
[1] Watuseke, F.S., 1962. Sedjarah Minahasa. Manado, hlm. 10.
[2] Tinggi gunung Soputan pada saat ini berubah-ubah karena adanya aktivitas vulkanis berupa letusan dan pembentukan kubah lava di puncak gunung yang sekarang ini semakin bertambah sekitar 50-100 meter.
[3] Danau Tondano luasnya 50 km², sebagai danau terbesar di Minahasa, panjangnya 14 km dan lebar tersempit 3 km, letaknya 693 m di atas permukaan laut (data 1969). Di danau ini terdapat pulau kecil yaitu pulau Likeri dan pulau Orowen. Lihat Watuseke 1969:6-7.
Bab II. Pengetahuan Demografis
A. Penduduk
Apa sebab orang Minahasa secara adat & budaya disebut Bangsa Minahasa ?
Karena asal usul anthropologis orang Minahasa sama; yang berdiam dalam satu daerah yang batas-batas geografis jelas; dan yang disatukan oleh satu idealisme sosial, politik, ekonomi, budaya bahasa dan agama yang sama.
B. Jumlah Penduduk
Penduduk Tanah Minahasa pada tahun 2008 berjumlah 1.440.686 jiwa, dengan perincian: Kabupaten Minahasa 298.179 jiwa, Minahasa Selatan 182.292 jiwa, Minahasa Utara 174.455 jiwa, Minahasa Tenggara 95.145 jiwa, Kota Manado 429.149 jiwa, Kota Bitung 178.266 jiwa, dan Kota Tomohon 83.200 jiwa.
Catatan populasi penduduk Minahasa mulai abad ke-16 sampai sekarang, dimana mulai tahun 1955 sudah terhitung dengan penduduk sub etnik imigran, adalah sebagai berikut: [1]
Tahun Jumlah Penduduk
1642 .......................... lebih dari 15.000 jiwa (menurut pater Juan Yranzo)
1678 .......................... 20.350 jiwa (menurut Dr. Robertus Padbrugge)[2]
1682 .......................... 40.000 jiwa (menurut Ds. F. Valentijn)
1792 .......................... 20-30.000 awu (rumah tangga) (J.L. Seydelman)
1817 .......................... 58.635 jiwa (menurut Prof. C.J.C. Reinwardt)[3]
1821 .......................... 56.236 jiwa (menurut Prof. C.J.C. Reinwardt)
1825 .......................... 73.088 jiwa (menurut P. Bleeker/N. Graafland)[4]
1845 .......................... 92.350 jiwa (menurut J.J. ten Siethoff)[5]
1849 .......................... 95.661 jiwa (menurut P. Bleeker/Nico S. Kalangie)[6]
1850 .......................... 96.815 jiwa (menurut AV Manado 1850)
1860 ........................ 100.308 jiwa (menurut AV Manado 1860)
1870 .........................115.007 jiwa (menurut AV Manado 1870)
1880 .........................134.362 jiwa (menurut KV 1882)
1891 .........................151.000 jiwa (menurut Residen Manado)
1895 .........................164.715 jiwa
dan seterusnya....
C. Suku
Bangsa Minahasa terdiri dari sub etnis:
1. Tonsea
2. Tombulu
3. Toulour (Tondano)
4. Tountemboan
5. Tonsawang
6. Ratahan-Pasan
7. Ponosakan
8. Bantik
9. Babontehu
Peta pembagian sub etnis.
Bangsa Minahasa terdiri dari empat sub-etnis (suku/etnis) besar sebagai etnis utama (asli), yaitu Tountemboan, Tombulu, Toulour/Tondano dan Tonsea. Kemudian sub-sub etnis yang berdiam di selatan Minahasa seperti Tonsawang, Ratahan-Pasan (Pasan Wangko) dan Ponosakan sebagai sub-etnis campuran. Terakhir sub-etnis Bantik sebagai suku pendatang dari Sulawesi Tengah. Pada saat ini, etnis Babontehu diterima sebagai sub-etnis Minahasa bersama dengan orang Borgo.[1] Dalam versi orang Tountemboan atau generasi Minahasa sebelumnya menganggap bangsa Minahasa terdiri dari 7 sub etnis, yaitu Tonsea, Tombulu, Toulour, Tonsawang, Pasan-Ratahan-Ponosakan, dan Bantik.
Sub-etnis Tondano atau Toulour, mendiami daerah sekeliling Danau Tondano sampai di pantai Timur Minahasa (Tondano pante) yaitu daerah Tondano, Kombi, Eris, Lembean Timur, Kakas, Remboken. Pakasaan-Toulour terbagi atas dua walak yaitu Tondano-Toulimambot di bagian barat dan Tondano Touliang di bagian barat, serta walak Remboken (campuran orang Tondano dengan orang Tombulu) dan walak Kakas (campuran orang Tondano dengan orang Tountemboan).
Sub-etnis Tonsea, berada di Minahasa bagian Utara yang dahulu sebagai pakasaan Tonsea/Tontewoh dengan satu walak Tonsea, serta Kalawat Atas, Kalawat Wawa (Klabat di Bawah) di Paniki, dan Likupang. Daerah suku ini meliputi daerah Airmadidi, Kauditan, Kema, Bitung, Tatelu, Talawaan, Likupang, Maumbi, Kalawat.
Sub-etnis Tombulu berpusat di Tomohon yang mendiami daerah Kota Tomohon, kecamatan Tombariri, kecamatan Pineleng dan kecamatan Tombulu, kecamatan Wori, dan pusat Kota Manado. Sub-etnis bagian pakasaan Tombulu yang memiliki enam walak, yaitu Tomohon/Tou Muung, Sarongsong, Tombariri, Kakaskasen, Ares, dan Kalawat Wawa’ (Klabat di Bawah) yang kemudian diduduki orang Tonsea.
Sub-etnis Tountemboan berkedudukan di Minahasa bagian Selatan yang mendiami daerah Langowan, Tompaso, Kawangkoan, Sonder, Tareran, Tumpaan, Amurang, dan daerah di sepanjang kuala Ranoyapo yaitu di daerah Motoling, Kumelembuai, Ranoyapo, Tompaso Baru, Modoinding, Tenga dan Sinonsayang. Suku ini berasal dari Pakasaan Tompakewa yang terdiri dari walak Tompaso, Langowan, Tombasian, Rumoong, Tongkimbut bawah (Kawangkoan) dan Tongkimbut atas (Sonder). Dahulu kala Tountemboan sering disebut Tompakewa, atau juga Tongkimbut (karena Walak Tongkimbut merupakan walak terbesar di Tountemboan saat itu).
Sub-etnis Tonsawang atau Toundanouw, berada di daerah administratif kecamatan Tombatu dan Touluaan. Leluhur dari puak ini diperkirakan datang dari pulau kecil Mayu dan Tafure di selat Maluku yang mendarat di Atep (Tondano pante) kemudian beralih ke Tompaso kemudian beralih ke tempat sekarang. Mereka menyebut sub-etnisnya sebagai orang Toundano. Kaum Tonsawang menyebut diri mereka Toundanow, namun lebih dikenal oleh orang Minahasa lain sebagai orang/suku Tonsawang atau Tombatu. Pada mulanya mereka dikenal bangsa Malesung sebagai Tousini. Berdasarkan legenda, asal usul mereka berasal dari dua kelompok: kelompok pertama datang dari barat daerah Tontemboan di Teluk Amurang maupun dari Pontak dan kelompok kedua datang dari tepi utara danau Tondano. Yang berasal dari utara terbagi dua, yaitu dari kampung Luaan yang dipimpin oleh pamatuan Dotu Mamosey dan kedua dari kampung Betelen yang dipimpin oleh pamatuan Dotu Kamboyan. Setelah kedua pemukiman didirikan di tepi danau Bulilin, Tonaas Mamosey terpilih menjadi panuulan atau tuud in doong pertama kaum Tonsawang.
Sub-etnis Ratahan dan Pasan, berada di sekitar kota Ratahan. Sub-etnis Ratahan atau Pasan-Wangko, atau Pasan-Ratahan. Sub-etnis Ratahan berada di kampung-kampung Ratahan/Tosuraya, Wioi, Wiau, Wongkai, Rasi, Molompar, Wawali, Minanga dan Bentenan, dan sub-etnis Pasan berada di kampung Towuntu, Liwutung, Tolambukan dan Watulinei.
Sub-etnis Ponosakan berada di kecamatan Belang dan kecamatan Ratatotok yaitu di kampung Belang, Basaan, Ratatotok dan Tumbak serta sebagian kampung Watuliney dan Tababo. Suku ini merupakan satu-satunya sub-etnis di Minahasa yang beragama Islam.
Sub-etnis Bantik berada di daerah sekitar Manado, yaitu di barat daya Manado seperti Malalayang dan Kalasei dan di sebelah utara Manado seperti Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Bailang, Molas, Meras, serta Tanamon di kecamatan Sinonsayang Minsel. Suku ini berlainan sekali bahasa, adat kebiasaan dan roman muka dari suku-suku lain di Minahasa. Suku ini berasal dari Sulawesi Tengah, kemudian bermukim di Bolaang Mongondow. Orang Malesung dan Minahasa tempo dulu mengenal serta menyebut mereka sebagai kaum Toumini yang datang dari sekitar Teluk Tomini di Sulawesi Tengah. Kemudian mereka datang di Minahasa sebagai tentara bantuan Bolmong untuk memerangi suku-suku Minahasa. Ketika tentara Bolmong dikalahkan di Maadon, Lilang (Kema) maka suku ini menetap di sekitar teluk Manado. Sampai tahun 1850 mereka diam-diam membayar upeti kepada raja Bolmong. Oleh karena itu zendeling Graafland dahulu menyebut mereka sebagai tentara-budak kerajaan Bolaang Mongondow.
Sub-etnis Babontehu berada di kepulauan sebelah barat laut Minahasa. Dahulu sub-etnis ini berada di bawah satu kerajaan tersendiri bernama Kedatuan/Kerajaan Manado yang berpusat di pulau Manado tua. Orang Babontehu terkenal sebagai pelaut ulung. Kepala mereka disebut kolano (raja). Karena dikalahkan Kerajaan Bolaang Mongondow, mereka terusir dari sana dan serta sejumlah besar berpindah menetap di kepulauan Siau/Sangihe. Hanya sekitar 40 keluarga yang dipindahkan kompeni VOC ke Sindulang sekitar abad XVII.
Ada juga beberapa kelompok kecil yang telah lama berasimilasi dengan orang Minahasa sehingga mereka dianggap sebagai bagian dari Minahasa. Orang Borgo dulunya adalah serdadu sipil masa VOC dan Hindia Belanda, merupakan campuran orang Eropa, Afrika Selatan, Asia dan lain-lain dengan Minahasa. Orang Kampung Jawa Tondano (Jaton) yang menetap di timur laut Tondano merupakan campuran dari bangsa Jawa pengikut Pangeran Diponegoro dan Kyai Modjo yang kawin dengan gadis-gadis Minahasa. Selain itu terbentuk juga Kampung Jawa di Tomohon dan di Pineleng terbentuk pemukiman pengikut Imam Bonjol.
Tabel Jumlah Penduduk Berdasarkan Sub-Etnis Abad XVII dan XIX
[1] Oleh Majelis Adat Minahasa (MAM) yang dipimpin seorang pimpinan Presidium (Presiden), yaitu dr. Bert Adriaan Supit.
D. Bahasa
Bahasa daerah Minahasa terdiri dari:
1. Tountemboan
2. Tombulu Tonsea
3. Toulour (Tondano)
4. Tonsawang
5. Ratahan-Pasan
6. Ponosakan
7. Bantik
Bahasa pergaulan (lingua franca): Bahasa Melayu Manado
Bahasa resmi: Bahasa Indonesia
Bahasa Melayu Manado (Bahasa Manado)
Bahasa pergaulan (lingua franca) yang dipakai secara resmi di antara orang Minahasa adalah bahasa Melayu Manado (= Bahasa Manado). Bahasa kedua yang dipakai untuk percakapan dalam kegiatan resmi adalah bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di negara Republik Indonesia. Digunakan secara resmi di dalam pemerintahan, kantor, sekolah, gereja dan pertemuan lainnya.
Bahasa Melayu Manado berasal dari bahasa Melayu Maluku yang diperkenalkan oleh pedagang Ternate di pantai-pantai dan oleh kompeni (VOC) sebagai bahasa perdagangan di kepulauan Nusantara. Bahasa ini berasal dari daerah Melayu di Sumatera yang dipergunakan sebagai bahasa perdagangan di kawasan Nusantara dan kawasan Asia Tenggara pada umumnya. Bahasa ini diterima dan dikembangkan orang Minahasa terutama dari bahasa Melayu Maluku yang berpusat di Ternate. Bahasa ini kemudian mendapat pengaruh dari bahasa Ternate serta Portugis maupun Spanyol. Bahasa ini dibawa orang Ternate, Portugis, Spanyol, terutama oleh Belanda ke Minahasa. Di sini bahasa ini mendapat pengaruh dari bahasa daerah Minahasa, bahasa Belanda dan sejumlah bahasa dari daerah sekitarnya. Pada masa sekarang, bahasa ini mendapat pengaruh dari bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Sedemikian jauhnya perbedaan antara bahasa aslinya yaitu bahasa Melayu sehingga bahasa ini telah memiliki ciri khas tersendiri.
Ketika melewati Maluku (Ternate), Bahasa Melayu berubah menjadi Bahasa Melayu Maluku (Bahasa Melayu Maluku-Ternate). Sejumlah kata yang diserap dari Bahasa Melayu Maluku-Ternate, Tidore, Ambon dan Galela antara lain ngana (ngona=kamu), ngoni (ngom, ngoni=kamu [jamak], kalian), dorang (=mereka), bifi (=semut), cako (=simpul), cidako (=celana pendek tradisional), ciri (=jatuh), cumu (=sebut), deho (=ikan cakalang, tongkol), daseng (=gubuk tepi pantai), dola (=hadang), fufu (=pengasapan), gaba-gaba (=pelepah daun rumbia), galafea (=ikan roa yang diawetkan dengan cara diasapkan), gomala (=mata kail), gomutu (=ijuk), wora, dan lain-lain.
Agaknya Bahasa Melayu Manado mendapat pengaruh bahasa Spanyol dan Portugis (Portugal) langsung dari daerah Maluku (Ternate).[1] Sejumlah kata yang diserap dari bahasa Portugis antara lain
Sedangkan dari bahasa Spanyol diserap antara lain kata
Kemudian Bahasa Melayu Maluku dibawa ke Minahasa sebagai bahasa administrasi politik dan perdagangan dan bertransformasi menjadi bahasa Melayu Manado atau Bahasa Manado. Di sini bahasa Belanda banyak diserap ke dalam Bahasa Melayu Manado, antara lain
Bahasa daerah dan dialek-dialek Minahasa tentu saja mempengaruhi bahasa ini. Misalnya pe’daal/pelaar, tinutuan (=bubur manado), midal (mie + pedaal/pelaar), pasini (=tanah warisan keluarga), kawanua (=saudara sekampung), pondos, foso, pulut (=tanah liat), poyo’ (=[anak] cucu), rangka’ (=tinggi), pesi (=pancing), RW (rintek wuuk, masakan daging anjing), sangali (=tanpa harus), woka, tabea, tawaang, tonaas, toyaang (=anak kecil), tu’is, tumotongko (=ular piton), wewene (=perempuan), woka, wowo’.
Bahasa Inggris dan Perancis juga mempengaruhi bahasa ini dari abad ke-19 karena kedua bangsa ini pernah menjajah Minahasa, langsung atau pun tak langsung. Bahasa Inggris sekarang banyak mempengaruhi Bahasa Manado dewasa ini dalam kapasitasnya sebagai bahasa internasional. Bahasa Inggris yang diserap atara lain blangket (blankette), dogger (pencuri anjing/tukang potas), flai (fly), flash (film Flash Gordon=angan-angan, dusta), jojing (jogging), jontra (aktor Jon Travolta yang suka berdansa), brikdens (breakdance), koboi (cowboy), bolpoin (ballpoint), petromax (=lampu gas, Petromax=nama merek lampu gas tahun 1950/60-an), potas (=racun anjing, nama kimia Potassium sianida), riki (reach), silet (merek pisau cukur sermes Gillette, nama penemu), sori (sorry), WC (water closed=jamban tertutup air).
ka. Bahasa lain yang mempengaruhi tentu saja Mongondow, Sangir-Talaud, Betawi (kemudian menjadi bahasa prokem se-Indonesia dengan penyebaran lewat sinetron dan drama televisi lainnya), Amerika Latin (lewat film-film telenovela, antara lain karlota=cerewet/penebar isu).
Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang digunakan secara resmi pada kantor-kantor, gereja, pertemuan-pertemuan resmi kemasyarakatan lainnya. Bahasa ini adalah Bahasa Persatuan dari Negara Republik Indonesia, daerah di mana tanah Minahasa berada.
Bahasa Daerah Minahasa
Bahasa Minahasa adalah bahasa daerah asli Minahasa yang terdiri dari bahasa rumpun induk Minahasa, yaitu bahasa Tontemboan, bahasa Tombulu, bahasa Tonsea, bahasa Toulour/Tondano, serta bahasa dari masing-masing suku tambahan, yaitu bahasa Tonsawang, bahasa Ratahan/Pasan, bahasa Ponosakan, dan bahasa Bantik.
1. Bahasa Tombulu, yang berpusat di Tomohon sebagai bahasa sub-etnis Tombulu. Bahasa ini memiliki dua dialek besar yaitu yang memakai awalan ni dan memakai sisipan ni dalam arti perfektum. Yang pertama terdiri dari dialek-dialek Tomohon Sarongsong dan Tombariri, dan yang kedua terdiri dari dialek-dialek Kakaskasen, Klabat Bawah (Paniki) dan Ares (Kamangta dan Sawangan). Bahasa ini pertama kali dikenal oleh para pendatang, orang Barat.
2. Bahasa Tountemboan, yang dipergunakan di Minahasa bagian Selatan sebagai bahasa sub-etnis Tountemboan. Bahasa ini terdiri dari dua dialek besar, yaitu dialek makela’i dan dialek matana’i yaitu mereka yang menyebut kela’i (yang begini atau maotou) dan mereka yang menyebut tana’i (yang begini). Dialek matana’i dipakai di daerah Sonder, Kawangkoan, Tareran/Suluun, Tumpaan, Tombasian, sebagian Tenga (Tewasen, Pakuure), Kumelembuai, dan dialek matana’i dipakai di daerah Langowan, Tompaso, Rumoong, Amurang, Motoling, serta sebagian Tompasobaru. Bahasa ini merupakan bahasa daerah dengan penutur paling banyak di Minahasa.[2]
3. Bahasa Tondano atau bahasa Toulour, sebagai bahasa sub-etnis Toulour yang mendiami daerah sekeliling Danau Tondano sampai di pantai Timur Minahasa (Tondano pante). Bahasa Tondano terdiri atas tiga dialek yaitu dialek induk Tondano, dialek Kakas dan dialek Remboken. Dialek yang terbesar dalam daerah dan jumlah penutur terdapat di bagian Utara yaitu kota Tondano dan Eris-Kombi. Dialek Kakas di kecamatan Kakas dan dialek Remboken di kecamatan Remboken. Juga terdapat penutur bahasa ini di daerah kolonisasi (transmigrasi lokal Minahasa) di kecamatan Tompaso Baru dan Modoinding.
4. Bahasa Tonsea, yang dipergunakan di Minahasa bagian Utara sebagai bahasa sub-etnis Tonsea. Bahasa ini terdiri dari dua dialek, yaitu dialek induk Tonsea yang dipergunakan di sekitar Airmadidi, Tatelu, Minawerot dan dialek Kalabat-atas yang dipergunakan di sekitar Maumbi dan Likupang.
5. Bahasa Tonsawang sebagai bahasa etnis Tonsawang. Mereka menyebut sub-etnisnya sebagai orang Toundanow. Bahasa ini banyak dipengaruhi oleh bahasa Tountemboan karena kedua etnis ini saling berbatasan.
6. Bahasa Ratahan, dipergunakan di sekitar kota Ratahan sebagai bahasa sub-etnis Ratahan atau Pasan-Wangko atau disebut juga Bentenan. Bahasa ini memiliki persamaan dengan bahasa Sangir.
7. Bahasa Ponosakan sebagai bahasa sub-etnis Ponosakan, dipergunakan di Belang dan sekitarnya. Bahasa ini berkerabat dengan bahasa Bolaang Mongondow.
8. Bahasa Bantik sebagai bahasa sub-etnis Bantik. Bahasa ini berkerabat dengan bahasa Sangir.
Diagram Kekerabatan Bahasa Daerah Minahasa
Contoh Penjabaran/pengembangan kata “kuman” (=makan) [3]
Kata ‘kuman’ adalah k.k. (kata kerja) yang artinya: melakukan pekerjaan ‘makan’ (makan nasi, makan ikan, dll). Kata kerja tersebut adalah kata jadian dari kata dasar ‘kan’ (k.b.=kata benda) yang berarti ‘padi’ ataupun disebut juga untuk ‘nasi’ (makanan). Inilah yang membuat bahasa daerah Minahasa menjadi sesuatu yang disebut ‘seni dialek Minahasa’
Kata benda ‘kan’ dikembangkan menjadi katakerja (k.k.), katabenda (k.b.), katasifat (k.s.) dan dalam perubahan waktu, semuanya akan bervariasi sampai 700 kata.
Berikut variasi kata ’kan’:
[2] Tambuwun, E.M., 1986. Tatabahasa Tonemboan Jilid II. Yayasan Budaya Tontemboan. Manado, hlm. 10-11.
[3] Brosur Info Kawanua, Edisi Harijadi Minahasa 556 tahun 5 Nopember 1428 - 1984 oleh Perhimpunan Kerukunan Keluarga Kawanua (KKK) Jakarta, 1984, hlm.41-48.
E. Sistem Religi/Agama
Orang Minahasa dahulu kala mempunyai sistem kepercayaan tradisional yang bersifat monotheisme. Agama suku Minahasa adalah agama yang memuja adanya satu pencipta yang superior/penyebab segala sesuatu (causa prima) yang disebut Opo Wailan Wangko, Opo Empung. Agama asli Minahasa oleh orang Eropa disebut Alifuru, yang memiliki ciri animisme, walaupun hal ini ditolak oleh sejumlah ahli. Agama Malesung tidak mengenal penyembahan terhadap benda-benda alam seperti batu, pohon, hutan (tanah, air dan udara). Tempat-tempat atau benda-benda tersebut hanya dipakai sebagai medium ritual kepada Sang Pencipta, pendeknya sebagai lokasi/tempat ibadah/ritual kepada Sang Pencipta. Orang Minahasa juga mengenal adanya kekuatan semacam dewa, yaitu orang-orang tua yang memiliki kekuatan spiritual maupun yang dihormati dan disegani (para dotu) yang telah meninggal. Mereka ini kemudian disebut sebagai Opo (Tontemboan menyebutnya Apo). Kata ‘Opo’ sendiri berarti opa/oma, orang tua, leluhur.
Sang Esa dikenal dengan nama Empung, atau Opo Wailan Wangko, Opo Menambo-nembo, Opo renga-rengan, yang bermukim di Kasendukan serta dilayani para Opo (dewa). Di samping dunia manusia di bumi, penduduk percaya ada dunia tengah (Kalahwakan) yang didiami para Dotu. Para Dotu ini menjadi medium manusia di bumi dengan Empung di dunia atas. Leluhur awal mempercayai jiwa manusia tidak mati, tapi pergi ke tempat tinggal leluhurnya.
Tabel Jumlah Penduduk berdasarkan Agama Tahun 2006 (jiwa)
Kab./Kota
Kristen
Katolik
Islam
Hindu
Budha
Jumlah
Manado
249.194
25.040
171.742
6.800
934
514.910
Bitung
108.692
8.573
47.173
252
934
165.624
Tomohon
54.726
25.361
3.477
57
47
83.668
Minahasaa
395.395
215.381
47.443
107
3.472
661.798
Minsel b
252.865
10.393
34.092
-
104
297.454
Jumlah
1.060.872
284.748
303.927
68.416
5.491
1.723.454
Prosentase
61,554%
16,52 %
17,63 %
3,97 %
0,32 %
100,00
a Termasuk Kabupaten Minahasa Utara. b Termasuk Kabupaten Minahasa Tenggara.
Bab III. Pengetahuan Unsur Sosial-Budaya
A. Flora Khas
Tawaang (Latin: Cordyline terminales Kunth, Dracaena terminales, Calodracon tennie nalis Planah[1]
Tanaman herbal ini digunak............
B. Fauna Khas
Clepuk Sulawesi (Otus manadensis)
Famili : Strigidae
Nama Internasional : Sulawesi Scops Owl
Punggok Tutul (Ninox punctulata)
Famili : Strigidae
Nama internasional : Specklet Boobook
C. Artefak Kebudayaan
- Watu Pinawetengan (batu menhir)
.............
- Waruga (kubur batu sarkofagus)
....................
- Batu tumotowa/sumanti/panimbe (menhir)
.....
D. Tarian
1. Maengket
2. Cakalele/Kabasaran (Masasau)
3. Jajar
4. Lenso
5.dll
E. Alat Musik
a. Kolintang
b. Musik Bambu (Seng & Klarinet)
c. Bia
d. Katentengan
e. dll
F. Pakaian
Pakaian tradisional Minahasa mulanya terdiri dari baju yang dibuat dari kulit kayu pohon lahendong.
G. Rumah Adat: Wale
...................
H. Lagu Daerah
Lagu yang menjadi lagu kebangsaan (nasional) Minahasa adalah Mars Minahasa, Oh Minahasa, Opo Wana Natas. Lagu-lagu lainnya adalah O Ina Ni Keke, Esa Mokan, Ampuruk, Si Patokaan, dan lain-lain. Lagu-lagu ini sering dinyanyikan pada setiap kesempatan dan acara/kegiatan yang berbau budaya Minahasa.
Mars Minahasa
(Arr: Anonim)
Minahasa di ujung utara Sulawési,itu Tanah Airku ...
Tondano, Tomohon, Tonsea, Kawangkoan,Kakas dan Amurang ...
Kalabat, Soputan, Lokon, Dua Sudara,gunung di Minahasa ...
Pertemuan mata, jangan kita lupa ...
Ref: Suatu tanah, yang amat subur,dan lagi tanah yang kaya ...
Di sana tempat, ibu dan bapa,sanak saudara dan sekalian teman ...
Sako mangémo, an tana’ jao,magémo ma’ilek-ilék lako sayang...
Sako mangémo, an tana’ jao,magémo ma’ilek-ilék lako sayang!
Lagu Patriotik Anak Sekolah Minahasa Abad ke-19
(Arr/Lagu: Ds. Nicolaas Graafland, 1871)
Minahasa jang tercinta
Dengar kedong hatiku.
Karna ontongmu kuminta
Limpa berkat pada Huw.
Mana dapat, djauh dan rapat,
Tanah lebih éjlok trang?
Tagal itu, sabagitu
Béjta tjinta angkau grang.
Lagu Kebangsaan Minahasa: Hai Orang Minahasa Gnap
Hei Orang Minahasa gnap
Angkatlah Hatimoe
Dan minta berkat jang tetap
Kepada Toehanmoe
Siapa tjinta prentahNja
Jang berikan oentoeng trang
Ialah minta slamatNja
Dibrikan Allah grang 2x
O Minahasa (“Hymne Minahasa”)
(Arr: Anonim)
O ... Minahasa kinatoanku
Salarimaé unatéku
Milek ungkawangunanu
Ngaranu kéndis wia Nusantara
Na un cingké, pala wo kopra
Sé ma teles me lelowa
Ref: Dano Toulour; dépo wo numamu
Tembur Lokon wo Soputan mawés umbangumu
O ... kinatoanku Minahasa
Sawisa méndo endo léos
Paléosta né matuari
O... Minahasa tempat lahirku
Sungguh bangga rasa hatiku
Memandang keindahanmu ...
Namamu masyhur di Nusantara
Karna cengkih, pala dan kopra
Kagumkan pasaran dunia ...
Ref: Danau Tondano dan sawah ladangmu
Asap Lokon dan Soputan menghiasi alammu ...
O ... tempat lahirku Minahasa
Aku rindu setiap masa
Aman damai dan sentosa
Opo Wana Natas
(Arr/Lagu: Johanis Kainde, 1939)
Opo’ Wana Natas é, témboné sé mengalé-ngaléi
Témboné sé mengalé-ngaléi, Pakatuan Pakalawiren
Kuramo kalaléi langit, téntumo kalaléi un tana’
Kuramo kalaléi un tana’, téntumo kalaléi ta in tou
Nikita intou karia é ni mapasu suat u man
Nimapasu suat uman, kana wia si Opo’ Wana Natas.
Si Opo’ Wana Natas é, sia simata’ u am péléng.
Sia simata’ u am péléng, mamuali wiam ba wo in tana’.
(Artinya: Allah Maha Tinggi:
Allah Bapa di Sorga, lihatlah kami yang memohon
Lihatlah kami yang selalu memohon keselamatan
Sebagaimana umurnya langit, demikian juga umurnya bumi,
Sebagaimana umurnya bumi, demikian juga umur kita manusia.
Kita sebagai manusia, hai teman, hanya berserah pada Tuhan
Hanya berserah kepada Tuhan di tempat yang tinggi.
Ampuruk
(Arr/Lagu: Frederick W. Ward, Amurang 1954)
Ampuruk ing-kuntung karege-regesan
Maka témbo-témbomei inataran
Ka saleén kaaruyén o kalélon.
Tumémbo mei ingkayobaan
Cami mengaléi é karia é katuari
Sé cita imbaya an doong ta iyasa
Maesa é naté o mamemberenan
eluren ingkayobaan iyasa (2x)
(Artinya:Di puncak gunung setiap saat angin bertiup. Dari atas terlihat terhampar padang yang luas. Mengasyikkan menyenangkan serta merindukan, memandang alam dari atas gunung. Kami mohon wahai teman-teman dan saudara kita semua yang ada di kampung saat ini, Bersatu hari [rukun-rukunlah] dan saling peduli dalam mengatur dunia sekarang ini).
O Ina Ni Kéké
(Lagu: Portugis Haja Luz Abad XVI, Arr:Anonim Abad XIX)
O Ina ni Kéké, mangé wisako
Mangé aki Wénang tumeles baléko
Wéané, wéané, wéané toyo’
Da’i mo si apa kotare’ makiwé
Artinya:
Tanya seseorang kepada ibu: “Eee cewe (Keke) pe mama, dari mana ngana?”
Jawab ibu itu: “Mo pigi Manado (Wenang) mo ba beli kukis (baleko)”
Tanya seseorang itu lagi: “Kase akang, kase akang... kase akang sadiki!”
Jawab ibu: “Serta so abis baru ngana mo minta”.
BAGIAN II
SEJARAH MINAHASA
Bab I. Pendahuluan
A. Historiografi Minahasa
Historiografi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang penulisan/pencatatan sejarah, menjadi sebuah bidang yang banyak digeluti orang Minahasa dewasa ini dalam menggali masa lalunya. Historiografi Minahasa pada umumnya terbagi dua, yaitu masa pra Westernisasi dan masa sesudah kedatangan bangsa Barat di sini. Cerita mengenai asal usul bangsa ini hanya diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Legenda dan mitos ini kemudian dicatat oleh para pejabat kompeni VOC yang mencari bahan pangan di sini terutama Dr. Robertus Padtbrugge, serta para misionaris (para pater Katolik) Spanyol dan Portugis. Penelusuran historiografi masa kompeni VOC hingga kolonial Belanda dapat ditelusuri lewat dokumen-dokumen serah terima/laporan pertanggungjawaban dan dokumen administrasi lainnya. Pada abad XIX historiografi mulai dicatat secara detil oleh para zendeling/pekabar injil Protestan.
Ada dua karya utama mengenai sejarah Minahasa yang terbit pada masa Belanda: pertama karya dari zendeling sekaligus kepala sekolah Ds. N. Graafland dengan karyanya “De Minahassa, Haar Verleden en haar Tegenwordige Toestand” yang terbit tahun 1867 dan 1898 dalam dua jilid. Kedua, karya dari seorang Landsarchief (Kepala Arsip Nasional Hindia Belanda) Dr. E.C. Godee Molsbergen¸ “Geschiedenis van de Minahassa tot 1829” yang terbit tahun 1928 dalam rangka menyambut 250 Tahun Peringatan Persahabatan Minahasa-Belanda 1679-1929.
Walaupun kini sudah banyak buku sejarah Minahasa, namun belum adanya kesamaan persepsi yang jelas mengenai pengkajian sejarah Minahasa. Penulisan sejarah masa kini harus sesuai dengan semangat nasionalisme Indonesia dengan mengorbankan semangat kedaerahan Minahasa. Jelas histroiografi Minahasa ini harus
Masalah baru muncul ketika akan diadakan penulisan kembali sejarah Minahasa, yaitu tidak terstrukturnya historiografi Minahasa dalam hal pembabakan/kronologi sejarah Minahasa itu.
B. Periodisasi Sejarah Minahasa
Sejumlah orang membagi sejarah Minahasa menjadi:
1. Masa pra Malesung ± 2000 SM – 700
2. Masa Malesung 700 – 1450
3. Masa Minaesa 1450 – 1523
4. Masa Minahasa 1523 – sekarang
F.S. Watuseke dalam bukunya Sedjarah Minahasa, sebuah buku yang disusun secara kronologi, membagi kurun waktu Minahasa berdasarkan kontak bangsa Minahasa dengan masing-masing bangsa Eropa, sebagai berikut:
1. Masa Purba
2. Masa Kolonial Bangsa Eropa
a. Masa Orang Portugis dan Intervensi bangsa Spanyol/ Tasikela (1512-1606)
b. Masa Bangsa Tasikela (Spanyol) dan Kedatangan Belanda (1606-1657)
c. Masa Kompeni Belanda (VOC) (1657-1799)
d. Masa Inggris I dan Belanda II (1800-1810)
e. Masa Inggris II (1810-1817)
f. Masa Belanda II (1810-1942)
g. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
3. Masa Republik Indonesia
a. Masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia/Masa Belanda III/NICA (1945-1949)
Saya membagi masa sejarah Minahasa ini ke dalam kategori:
1. Masa Malesung (Masa Purba)
a. Masa pra Malesung (sebelum abad VI atau XI)
b. Masa Malesung (Abad VI/XI – XV)
i. Toar-Lumimuut
ii. Makarua Siow (2x9), Makatelu Pitu (2x7) dan Pasiowan Telu
2. Masa Minaesa/Pinaesaan (Abad XV – XVI)
i. Perang Antar Walak
ii. Perang Minahasa – Bolmong
3. Masa Kolonial Bangsa Eropa
a. Masa Orang Portugis (Portugal) dan Intervensi bangsa Spanyol (1512-1606)
b. Masa Bangsa Tasikela (Spanyol) dan Kedatangan Belanda (1606-1657)
c. Masa VOC/Kompeni Belanda (1657-1799)
d. Masa Inggris I dan Belanda II (1800-1810)
e. Masa Perang Minahasa di Tondano (1808-1809)
f. Masa Inggris II (1810-1817)
g. Masa Belanda II (1810-1942)
h. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
4. Masa Republik Indonesia
a. Masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia/Masa Belanda III/NICA (1945-1949)
b. Masa Orde Lama (1950-1957, 1961-1966)
c. Masa Pergolakan Permesta (1957-1961)
d. Masa Orde Baru (1966-1998)
e. Masa Orde Reformasi/sekarang (sejak 1998)
Tinjauan Singkat Mengenai Masa Lalu Minahasa Purba (Malesung)
Dalam buku “Masalah Agraria Perobahan-Perobahan dalam Adat Penentuan Pemilikan Tanah” leh E.J. Jellesma:
Menurut cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun oleh penduduk Minahasa yang pertama sebenarnya berasal dari satu suku, kalau bukan dari satu daerah, paling kurang yang hidup tidak berjauhan. Mereka menduduki dataran-dataran tinggi Wulur-Mahatus, pegunungan yang sekarang kira-kira merupakan perbatasan antara Minahasa yang sekarang dengan kerajaan Bolaang-Mongondow.
Tanah-tanah Minahasa yang sekarang, dahulu masih merupakan bagian dari Samudera, di mana puncak-puncak Klabat, Lokon dan Soputan serta gunung-gunung lain terlihat sebagai pulau-pulau kecil. Oleh suatu gerakan alam yang tidak diketahui, diperkirakan dasar laut terangkat dan sebagian laut menjadi lahan luas yang subur dengan sejumlah besar gunung, di mana penduduk dari dataran-dataran tinggi tersebut di atas menjadi penghuni tetap.
Pada periode berikutnya pecahlah perang saudara yang luar biasa, yang mengakibatkan perpecahan di antara penduduk yang bersifat sangat bermusuhan, dan terus-menerus hidup dalam peperangan, apalagi kalau mereka melewati perbatasan wilayah mereka masing-masing. Oleh karena itu perpecahan menjadi makin besar dan perasaan bahwa mereka berasal dari satu keturunan yang sama semakin berkurang, sampai mereka akhirnya menganggap diri sebagai suku tersendiri (pakasaän, eeheid).
Setelah beberapa waktu perang berlangsung di antara mereka, terlebih lagi di bawah tekanan Raja-raja Bolaang-Mongondow yang tak henti-hentinya berupaya menguasai tanah itu, mereka memutuskan untuk mengesampingkan dendam lama di antara mereka dan saling membantu satu sama yang lain untuk menggagalkan usaha musuh bersama mereka itu. Sejak saat itu mereka menamakan diri Maesa atau Minaésa (ésa = satu; menjadi satu), yang kemudian dirobah menjadi Minahasa.
Setelah peperangan yang sengit dan berkepanjangan itu orang-orang Bolaang-Mongondow dikalahkan dan mereka terpaksa meninggalkan Minahasa.
Selama peperangan berlangsung muncullah untuk pertama kali orang-orang Spanyol (yang oleh orang Minahasa dulu disebut Tasitjela atau Tasikela = penyim-pangan dari kata Kastilië).
...
Bermacam-macam usaha orang Spanyol untuk juga bermukim di tanah tinggi, gagal, artinya mereka gagal tinggal di situ untuk waktu yang lama; suku-suku Minahasa di daerah pegunungan berhasil memerangi mereka melalui perang gerilya. Karena ancaman orang Spanyol dan Bolaang-Mongondow maka orang Minahasa minta pertolongan dari orang Belanda yang ketika itu sudah menetap di Ternate. Pertolongan diberikan kepada mereka dan orang Spanyol diusir dari seluruh Minahasa.
Pada tahun 1679 kontrak pertama dengan “Kepala-kepala desa dan seluruh umat dari wilayah Menado” dibuat oleh Gubernur Maluku R. Padtbrugge atas nama Gubernur-Jenderal Rijckloff van Goens.[1] Dalam artikel pertama mereka jelaskan “bahwa mereka hanya menerima dan mengakui VOC yang terhormat itu sebagai satu-satunya penguasa tertinggi, abadi dan sah.”
Setelah orang Bolaang-Mongondow dihalau, suku-suku Minahasa mulai sadar, bahwa lebih baik kalau permusuhan di antara mereka diakhiri dan menentukan sebaik mungkin batas-batas dari pelbagai pakasaan. Sesudah melalui banyak pertengkaran akhirnya terciptalah satu penyelesaian, dan setiap pakasaan mendapatkan wilayah masing-masing, dengan batas-batas yang telah ditentukan. Pertengkaran mulai berkurang; ikatan lama antara pakasaan hidup kembali; mereka mulai memandang diri mereka sebagai satu keturunan. Sementara itu pakasaan-pakasaan yang berbeda-beda itu (kemudian disebut distrik) mempertahankan wilayah mereka masing-masing dengan batas-batas yang sudah ditentukan.
C. Asal Usul Orang Minahasa
Bangsa Minahasa menurut penyelidikan para ahli berasal dari daratan Asia. Dalam tradisi berupa mitos, leluhur bangsa Minahasa berasal dari utara yang datang melalui laut. Jadi bukan merupakan penduduk asli.
Menurut H.M. Taulu, kaum pendatang di Minahasa adalah:
1. Kaum Kuritis, yang berambut keriting.
2. Kaum Lawangirung (Lewengirung), yang berhidung pesek.
3. Kaum Malesung atau Minahasa, yang menurunkan empat kelompok besar yang menjadi sub-etnis: Tonsea, Tombulu, Tontemboan/Tompakewa, Toulour/Tondano.
4. Suku Tonsawang, Pasan Wangko (Pasan-Ratahan).
5. Suku Bantik, yang masuk di tanah Minahasa sekitar tahun 1590 sebagai tentara Mongondow yang memerangi bangsa Malesung.
Menurut legenda, leluhur orang Minahasa berasal dari sepasang suami-istri bernama Toar dan Lumimuut yang dibantu seorang enek tua bernama Karema. Mengenai asal usul mereka ada banya pertentangan. Versi tua mengatakan bahwa Lumimuut berasal dari peluh sebuah batu. Ada lagi versi yang mengatakan bahwa leluhur orang Minahasa berasal dari seberang utara. Apalagi dahulu bila orang meninggal dunia, dipercaya bahwa mereka akan pergi ke arah utara, ke daerah asalnya. Mengenai letak lokasi utara ini juga para ahli bersilang pendapat. Ada yang meneliti bahwa Minahasa berasal dari Cina, Mongol dan Jepang. Namun pendapat bahwa leluhur orang Minahasa berasal dari Jepang banyak diterima para ahli berdasarkan antropologi: bentuk muka, mata, dan ciri fisik lainnya, dengan persamaan bahasa dan bentuk kubur waruga, dan lain-lain.
BAB II. MITOS DAN LEGENDA
A. Leluhur Pertama: Toar-Lumimuut
Bangsa atau etnik Minahasa dimulai dari kisah leluhur mereka, yaitu TOAR-LUMIMUUT. Ada yang unik dari kisah ini, karena Toar dikisahkan mengawini ibunya Lumimuut. Selain kedua tokoh utama tersebut, ada juga tokoh lain yang bernama KAREMA yang dipersonifikasikan sebagai walian dan juga seorang nenek yang umurnya lebih tua dari Lumimuut dan berperan sebagai penasehat dan pembimbing dari Toar-Lumimuut.
Pada mulanya, keluarga Toar Lumimuut tinggal di kompleks Pegunungan Wulur Mahatus (di Minahasa bagian selatan),[2] yaitu bukit Watu Nietakan. Di puncak bukit ini terdapat sebuah batu bernama Watu Rerumeran/Lisung Watu. Letak dari batu ini berada di sisi barat daya Tompasobaru. Batu raksasa ini panjangnya sekitar 8 meter, lebar 4 meter dan tinggi 10 meter. Di lereng bagian barat ada ruangan tempat berteduh (gua) bernama Minawatu/Mahwatu Munte Popontolen dengan perabot serba batu. Di batu tersebut ada 19 lobang semacam lesung dengan lobang yang terbesar dalamnya 50 cm dengan diameter 40 cm.[3]
Diperkirakan bahwa keturunan Toar-Lumimuut tinggal di sekitar Mahwatu/Batu Nietakan selama empat generasi. Sedangkan Minahasa pada masa itu masih disebut sebagai Malesung.
Silsilah Toar-Lumimuut hingga Lumi/Worotikan – Kepala Walak di Tomohon melalui garis anak Pasiyowan[4]
Silsilah Lumi Worotikan Versi II[5]
[1] Rijklof van Goens, Gubernur Jenderal VOC di Hindia Belanda tahun 1678-1681. Ed.
[2] H.M. Taulu, Sejarah dan Antropologi Budaya Minahasa (Manado, 1981), hlm 3.
[3] Johanes J. Pangemanan, Puteri Mahkota dari Utara (Manado, 2005), hlm. 49,51. Lihat juga Bert Supit, Cerita To’ar-Lumimu’ut (Jakarta, 1991), hlm. 12, 22.
[4] Dari buku N. Graafland, De Minahasa: Haar Verleden en Haar Tegenwoordige Toestand Jilid I, Batavia, cetakan ulang 1898, halaman 214. Bandingkan buku Adrianus Kojongian, Tomohon, Kotaku, 2006.
[5] Menurut I.W. Palit dalam bukunya Manusia Pertama Minahasa (stensilan), terbitan 1981.
B. Kelompok Makarua Siow, Makatelu Pitu, dan Pasiowan Telu
Saat Lumimuut dan Toar menjelang tua dan masyarakat yang menetap di Wulur Maatus sudah demikian banyak, tibalah saatnya untuk menyerahkan tongkat tanggung jawab kepemimpinan kepada anak-anak mereka.
1. Kelompok “se makarua siouw” atau anak mereka yang tertua diserahkan tugas menjadi penghulu di bidang pengaturan masyarakat/pemerintah;
2. Kelompok “se makatelu pitu” diserahkan tugas menjadi penghulu pengaturan keagamaan;
3. Kelompok “se pasiowan telu” adalah terbungsu dan yang terkecil.
Dengan demikian, bangsa Malesung terbagi menjadi tiga golongan besar, yaitu:
I. Golongan Makarua Siow (2 x 9), yaitu golongan agama, yang mengatur ibadah dan adat istiadat. Merekalah kaum walian dan tonaas.
II. Golongan Makatelu Pitu (3 x 7), yaitu golongan militer, yang menjaga keamanan. Mereka itu adalah para waranei dengan pemimpinnya, yaitu teterusan.
III. Golongan Pasiowan Telu, yaitu rakyat biasa seperti petani dan pemburu.
Ketika pemukiman pertama di Nietakan telah penuh sesak, maka sejumlah keluarga dari Makarua Siow dan Makatelu Pitu mencari tanah baru untuk mendirikan tumani.[1] Mereka itu adalah:[2]
Kegagalan pengaturan pembagian pertama.
Akibat tidak adanya penentuan tempat maka bebaslah mereka pergi memilih tempat masing-masing. Kelompok “se makarua siouw” lebih banyak berkumpul pada suatu daerah sedangkan didaerah yang lain sedikit dan bahkan tidak ada sama sekali. Demikian pula dengan kelompok lainnya. Akibatnya tata cara pemerintahan maupun dalam pengaturan keagamaan berbeda-beda.
Di daerah yang pada dengan kelompok “se marua siouw” terjadi hal-hal:
1. Saling merebut wilayah sesama kelompok “makarua siouw”
2. Muncul rasa sombong dari kelompok “se makarua siouw” sebagai yang ditunjuk untuk berkuasa, serta menekan adik-adik mereka dari kelompok lainnya.
3. muncullah peristiwa Mahawetik dari hulu kaum Rumengan.
[1] Tumani adalah sebuah usaha untuk mendirikan sebuah kompleks pemukiman baru. Biasanya ditandai dengan pendirian batu peringatan lengkap dengan upacara foso unrtuk keperluan tumani tersebut.
[2] J.G.F. Riedel, Inilah Pintu Gerbang Pengetahuwan Itu - Apatah Dibukakan Guna Orang-orang Padudokh Tanah Minahasa Ini (Hhikajatnja Tuwah Tanah Minahasa) – Bahagijan Kalima (Batavia, 1862), hlm. 7-12; juga Taulu 1951:16; Taulu 1981:4-5. Bandingkan juga E.V. Adam, Kesusasteraan Kebudajaan dan Tjerita-tjerita Peninggalan Minahasa (Manado, tanpa tahun), hlm.7-9.
C. Kongres Raya di Watu Pinawetengan
Penetapan pembagian di Watu Pinawetengan
Pelaksanaan pembagian di Watu Pinawetengan.
Daerah tengah pada prinsipnya perpecahannya sama dengan daerah selatan, namun terpecahnya mengakibatkan terbentuknya 2 rumpun. Sebaliknya di selatan, tetap satu rumpun dan pecah menjadi 3 kelompok.
Maka pembagian tanah awohan dibahagi atas 4 bagian sesuai pembagian alam pada bagian atas batu Pinawetengan.
I. Toutewoh,
II. Tounsendangan,
III. Tounmayesu,
IV. Tounpakewa.
Pembagian penghuni atas tanah-tanah awohan yang telah ditetapkan. Dihitung oleh Opo Muntu-untu kehadiran dari seluruh penghulu-penghulu dari kedua kelompok Makarua-siouw dan Makatelu-Pitu serta dari kelompok Pasiowan-Telu yang diberi tanggung jawab khusus yaitu dari kelompok se Makarua-Lima dan Makarua-Telu. Dicoretlah kehadiran mereka pada bagian dari lingkaran batu.
A. Makarua Siouw (18 orang)
B. Makatelu Pitu (9 orang)
C. Makarua Lima (10 orang)
D. Makarua Telu (6 orang)
III. SEJARAH MINAHASA
A. Minahasa pada Masa Kolonial
Sistem Pemerintahan
Komentar
Posting Komentar