Esei Greenhill G. Weol: "Kebudayaan Minahasa Tak Pernah Mati: Lebih Jauh Tentang Don Juan, Kontemporaritas Kesenian, dan Eksistensi Mawale Movement
“If you want to know your past - look into your present conditions. If you want to know your future - look into your present actions”. – Buddhism Proverb
Saya ada Desember itu. Akhir tahun lalu
tepatnya. Saya ingat benar, karena kerumunan seperti ini jarang tercipta:
lusinan pekerja teater, pencipta dan pembaca puisi, sejumlah orang yang
menonton (banyak yang berasal dari dua kelompok pertama tadi), dan, ini
plusnya, ada seorang pengayom seni-budaya. Setelah sedikit tukar kata,
sepotong-dua pisang goreng dan berbatang-batang rokok, tetamu dan semua yang
hadir diundang kedalam gedung Pingkan Matindas untuk menyaksikan pentas perdana
sebuah naskah adaptasi sebuah lakon komedi karya Moliere oleh Eric MF Dajoh,
sutradara teater senior Sulawesi Utara, yang juga bedirektur hari itu. Saya
duduk di ruang panas dan pengap yang dipaksagelapkan dengan seorang kawan
bersama calon istrinya yang lagi hamil tua anak pertama mereka.
Jean-Baptiste Poquelin, a.k.a Moliere
bukan penulis lakon pertama yang mengkertaskan legenda “Don Juan” atau “Don
Giovanni”, ada paling-tidak empat penulis yang menggarap kisah ini sebelum
Moliere. Sekitar empatpuluhan tahun sebelumnya, pada 1620, dipublikasikan El
burlador de Sevilla y convidado de piedra (The Trickster of Seville
and the Stone Guest) oleh Tirso de Molina. Konon, Moliere banyak
terinpirasi dari karya yang paling dulu terbit ini, apalagi karakter utama
cerita. Cuma, ending yang agak ditekuk Moliere, karakter ciptaannya- Don Juan,
adalah seorang atheis, kemudian dimusnahkan api neraka. Versi Molina lebih “morale”,
bertobat dan mencari pengampunan. Memang, sepanjang masa, legenda Don Juan laku
digarap para penulis. Sebutlah nama-nama penulis raksasa semisal Byron,
Pushkin, Dumas, Tolstoy, Shaw, dan sederet nama lain. Kisah si playboy jaman
bahela ini pun banyak menginspirasi kesenian lain, seperti musik, rupa, bahkan
sinema.
Penggunaan term “Don”
sebenarnya tidak tekstual. Naskah Moliere menulis Dom Juan
ou le Festin de pierre (Dom Juan or The Feast with the Statue) sebagai
judul. “Dom” adalah kependekan dari gelar Prancis, “Dominus”. Jadi, latar dari
versi Moliere adalah Prancis dengan segalah riuh-rendah sosialitanya saat itu,
bukan Spanyol pedesaan, seperti yang sering disalahsangkakan. Lebih lanjut
mengenai kesalahan-kesalahan lain, pada hakikatnya “Don” Juan (saya bergabung
saja dengan kesalahan mayoritas, ketimbang disangka salah ketik) ditulis
sebagai sebuah naskah dengan konsepsi satire, bukan komedi.
Perbedaannya? Tipis, tetapi sangat fundamen, dan bukan tujuan tulisan ini untuk
membeberkannya. Sekedar menggambarkan, berikut petikan teks terjemahan naskah
Don Juan dalam bahasa inggris, dialog Sganarelle (dalam versi Dayoh, Sagan),
silahkan anda analisa sendiri:
"By his
death everyone gets satisfaction. Heaven offended, laws violated, girls led
astray, families dishonored, relatives outraged, wives ruined, husbands driven
to despair, they all are satisfied. I am the only unlucky one. My wages, my
wages, my wages!" (Fort,
Alice B. and Kates, Herbert S., Don Juan or The Stone Death, Minute
History of the Drama, New
York : Grosset & Dunlap, 1935. p. 47. Nov 27,
2007).
Yang jelas, pemilihan konsep yang tepat akan mempengaruhi
penyutradaraan dan, pada gilirannya, pementasan. Juga, entah disengaja atau
tidak, naskah Don Juan versi Indonesia buah terjemahan Winarsih Arifin yang
kemudian diadaptasi oleh Dajoh ini mencantumkan karakter bernama Don Luis,
sebagai ayah sang Don Juan. Dari beberapa sumber yang lebih
primer, saya temukan bahwa karakter Don Luis adalah seorang teman lama dari
Don Juan. Bisa jadi saya yang salah, atau ini karena hakikat adaptasi itu
sendiri, atau juga jangan-jangan Winarsih bukan menterjemah naskah Moliere,
tetapi versi-versi karya penulis lain yang memang berjumlah puluhan itu.
Dalam dalam buklet pementasan “Don Juan
Laki-Laki Dari Utara – Laki-Laki Bataru” terdapat sebuah pengkajian yang
menekankan “Don Juan-ism” sebagai sesuatu yang menggambarkan kejahatan,
kerakusan dan kekurangajaran. Ia digambarkan sebagai seseorang lelaki yang
penuh nafsu, perayu dan penipu wanita, yang selalu menginginkan seks dari tiap
wanita, dimana saja, kapan saja. Pendek kata, secara frontal karakter Don Juan
digambarkan sebagai sebuah simbol amoralitas. Saya ingin menawarkan sebuah
perspektif yang berbeda: Don Juan adalah seorang pria yang (ternyata) mencintai
dengan tulus semua wanita yang ia dekati, seseorang dengan karunia untuk
memahami kecantikan wanita lebih dari sekedar sedalam kulitnya, serta
seorang gentleman yang mampu membuat wanita merasa bangga
dengan tiap sentimeter tubuhnya. Ia, sebenarnya, justru yang menjadi korban
dari nafsu para wanita! Lebih jauh, Don Juan adalah seseorang yang justru
menjadi korban dari lingkungan, kebudayaan, dan rezim ortodoks dimana ia
berada. Ia tak lebih dari seseorang dengan pola pikir berbeda yang harus
menjadioutcast yang tak diterima oleh masa dimana dia hidup.
Bagaimana?
Tetapi segala diferensiasi atas nama
penyesuaian dan perubahan yang dipaparkan Dajoh di atas panggungnya ini bukan
pertanda kelemahan. Ini justru yang menjadi nilai lebih dari lakon garapannya.
Jadi, sewaktu saya duduk di gedung tadi, sebelum lampu panggung menyala, saya
telah benar-benar siap untuk menerima sebuah adaptasi yang betul-betul
adaptatif se-adaptif adaptasi itu memungkinkan dari sebuah karya Moliere!
Dan... Itulah yang terjadi. Saya turut jadi saksi.
Saya juga ada pada dua malam pementasan
garapan Dajoh ini di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), belum lama berselang,
bahkan turut naik panggung. Bukan sebagai seorang pemain dalam naskahnya,
tetapi sebagai performer gitar dalam musikalisasi puisi. Sebagai seorang
(mantan) gitaris, tentu saya sangat berbangga bisa tampil di panggung GKJ,
karena tidak sembarang seniman, seberapa hebatpun dia, dapat unjuk kebolehan di
gedung yang telah menjadi pusat performans kesenian semenjak dua abad silam
tersebut. Melalui perbincangan dengan Benni Mamoto, maecenas yang
memungkinkan pentas Don Juan tampil dua malam di GKJ itu, saya jadi tahu kalau
ada dua syarat harus dipenuhi seorang seniman untuk mendapatkan keleluasaan
manggung di gedung peninggalan kolonal itu. Pertama: memang piawai di
bidangnya, dan kedua, yang terpenting: punya sponsor/produser (backing?) yang
betul-betul terpercaya bonafiditasnya. Saya bangga bukan hanya karena
terciptanya sebuah fakta saya menjadi seorang pemain gitar dari Minahasa yang
pernah (dan mungkin yang pertama) tampil di GKJ, tetapi terlebih bahwa sebuah
bentuk kesenian dari movementkebudayaan Minahasa kontemporer, yakni
musikalisasi puisi, berhasil mempenetrasi Jakarta langsung di sebuah pusat
standarisasi keseniannya. Di jakarta, booming musikalisasi puisi baru mulai
menggema dua atau tiga tahun terakhir. Jadi, kepada gitaris-gitaris lain yang
saya jumpai, saya sering berseloroh bahwa sekarang saya sudah bisa “gantung
gitar” dengan tenang, hehehe!
Memang, tidak ada standing ovation odiens selepas musikalisasi puisi,
dan juga pentas teaternya, namun selama tiga jam lebih ramuan pentas naskah Don
Juan dan pembacaan puisi tersebut saya sering mendengar tawa geli penonton,
atau cerocosan-cerocosan, menanggapi idiom-idiom khas Orang Manado yang
sering tasosuru di dialog-dialog. Pentas memang terus-terusan
mengumbar stimulasi emotional recall, membongkar ingatan-ingatan
romantik para penonton, dengan pendekatan unsur-unsur yang memang sangat Manado skali.
Begitu pula 15 menit musikalisasi 15 halaman puisi Fredy “Cupez” Wowor yangpunchlinenya
adalah “…kita inga…” itu, juga seakan memaksa penonton berflashback. Approach seperti
ini menurut saya wajar-wajar saja mengingat keterangan pelaksana bahwa target
pementasan ini adalah para Kawanua. Wajar juga jika kemudian Nano Riantiarno,
direktur Teater Koma yang ternyata datangbauni, memilih mengapresiasi
keberanian Dajoh mengeksploitasi kekayaan lokalitas dalam naskah garapannya
ini. Menurut saya, hakikat sebuah kaya seni salah satunya adalah usaha
berkomunikasi pencipta karya dengan penikmat karya itu. Komunikasi, dalam
banyak kasus, dapat saja terjadi dengan baik walau tanpa banyak memusingkan
faktor teknis. Maka, menurut saya, komunikasi telah terjadi di dua malam pementasan
Don Juan di GKJ, tanpa perlu lagi menyoal pas-pasannya penguasaan teknis
teaterikal para pendukung pentas ini, terlepas dari penampilan Sylvester “Ompi”
Setligt sebagai Sagan, yang memang sukses mengenerasikan proyeksi komikal yang
brilian, walau sebenarnya saya masih kurang yakin kalau ini buah tangan sang
sutradara, karena sehari-hari, di luar panggung, Ompi memang berkarakter sangat
komikal. Sayangnya, karena pentas keseluruhan mengambil pendekatan komunikasi
verbal, Iverdikson Tinungki, pemuisi senior Sulut yang tampil dengan puisi
mantra andalannya justru yang seolah kehilangan touch. Penampilan
pembaca puisi lain maksimal, khusus Gembala Teddy Batasina dan Pendeta Haezar
Sumual, tampil memukau, padahal mereka bukan penyair. Terlepas plus-minusnya, toh sehari
setelah pementasan Don Juan oleh BalaiTeater di GKJ tersebut, harian-harian
ibukota dihiasi berita kesuksesan penampilan tim garapan Dajoh ini.
Saya pribadi justru merasa kagum kepada Benni
Mamoto yang bahkan turut menjadi performer dalam iven GKJ tersebut, membacakan
sebuah puisi dengan iringan kolintang O Ina Ni Kekeyang divokali
oleh sang istri tercinta. Pengalaman perdana ini membuat Kombes ini basuar
dingin juga. Rupanya, tatapan penonton lebih membuat gugup ketimbang
sorot mata seorang kriminal sekelas Imam Samudra yang sehari-hari diakrabinya!
Saya kemudian harus meminjam ujaran Benni Matindas, seorang filsuf dan
budayawan Minahasa, penulis seribuan halaman buku “Negara Sebenarnya”, yang
sering berkhotbah bahwa perkembangan kebudayaan Minahasa haruslah melalui
pembangunan kesenian yang memberi ruang seluas-luasnya untuk eksplorasi
kreativitas dan pengembangan intelektualitas. Jika Mamoto (akhirnya) mulai
melirik kesenian-kesenian kontemporer dalam usahanya mengayomi kesenian dan
kebudayaan di Sulawesi Utara, di Minahasa khususnya, tentu saja itu bukan
kebetulan. Saya merasa terhormat bisa menyaksikan proses itu mulai terjadi.
Ketika di pertengahan tahun sembilan puluhan
tercipta sebuah core seniman-seniman avant garde di
Fakultas Sastra UNSRAT yang kemudian mengusung panji Teater Kronis, saya berada
di dalamnya. Kami mengklaim sebagai sebuah kelompok yang muncul dari
ketidakberadaan. Maksudnya, kelompok ini akhirnya harus survive dengan
segala keterbatasan, mulai dari keterbatasan kebebasan berekspresi (eksis di
masa represi Orde Baru, membaca satu puisi saja sering harus ditebus
dengan drop-out), keterbatasan referensi (menegaskan bahwa tidak
pernah berkiblat pada siapapun, kecuali kepada literatur-literatur
internasional, dus, self-educated), sampai keterbatasan properti
(tidak punya kostum pentas, sering memilih berteater setengah telanjang,
berbalurkan cat atau lumpur). Teater Kronis memilih untuk, kalau tidak
mementaskan naskah sendiri, mendekonstruksi (bukan cuma mengadaptasi)
naskah-naskah teater lain.Repertoirnya: mulai dari naskah “Lebih Hitam
Dari Hitam” Iwan Simatupang, pelopor drama dan prosa absurd Indonesia, yang di
bongkar-pasang menjadi “Jiwa Dari Dunia Yang Hilang Jiwa”, sampai “Ma’ame:
Ratapan Anak-Cucu Lumimuut-Toar”, sebuah dekonstruksi “Ratapan Mati” karya Hugo
Ball, pengarang eksil di Swiss, seorang tokoh Zurich Movement.
Masih di masa yang sama pula, experimentalis-experientalis dari lingkaran yang
sama memulai penggabungan musik dan pembacaan puisi. Musikalisasi puisi, mulai
ala The Doors, Talkin’ Blues, Heavy Rock, sampai Rap-Hip Metal digarap.
Menyusul kemudian tampil KONTRA (Komunitas Pekerja Sastra Sulawesi Utara),
masih dari core yang sama, meramaikan (mungkin lebih tepat mengejutkan) jalanan
Manado hampir setiap hari dengan Street Theater, Happening danPerformance
Art. Konsep penampilan serta pemanggungan teater seperti ini, pada saat
itu, adalah benar-benar baru untuk tataran Indonesia sekalipun. Hari ini,
jaringan seni-budaya yang berbenang merah dengan core ini,
yang kini bergerak bersama dalam sebuah kesadaran Mawale Movement, tak bisa
disangkal lagi adalah merupakan jaringan terbesar di seenteru Utara
Sulawesi, merangkum empat puluhan kelompok, dari teater, sanggar tari, study
club, sanggar rupa, bahkan kelompok musik. Di dunia akademik melibatkan
kelompok-kelompok dari UNSRAT (Manado), UNIMA (Tondano), UNG (Gorontalo) UKIT
(Tomohon), Politeknik Negeri Manado, UG (Gorontalo), STAIN (Manado). Di luaran,
merangkum kelompok-kelompok dari berbagai penjuru Minahasa dan Gorontalo.
Radio Suara Minahasa punya “Leput 412”,
sebuah program kebudayaan mingguan yang telah berjalan dua tahunan. Terakhir,
acara ini menampilkan profil sebuah kelompok teater kampus. Seminggu sebelumnya
peluncuran CD album sebuah band lokal Tomohon, “Paeyus”. Sebelumnya ada lauching tiga
buku sastra, dua kumpulan puisi dan satu kumpulan cerpen dari tiga penulis
muda. Lima buku puisi dari Arie Tulus, seniman paripurna Minahasa, juga luncur
di acara ini. Yang paling sering acara ini menampilkan dialog kebudayaan
interaktif. Total jenderal, ada paling-tidak belasan buku yang telah
diperkenalkan kepada publik dalam acara ini, ada berbagai kelompok kesenian,
mulai sanggar dari selatan Minahasa sampai teater gereja di Minahasa Utara,
pernah singgah, ada puluhan konsep, ratusan ide, tak terhitung proses kreatif,
dan yang paling penting: pemaparan peta terkini konstelasi kebudayaan Minahasa
kontemporer secarareal-time. Sebagai host acara ini,
saya jadi punya banyak bukti dan juga sekaligus menjadi saksi bahwa kebudayaan
Minahasa ternyata tak mati (apalagi mati suri, seperti beberapa sangkaan
pesimistis yang sering terdengar).
Sayang, saya tidak bisa ke R.S. Kandouw
ketika sms dengan berbagai puji-syukur itu masuk. Saya lagi berada di pelosok
Minahasa, mencari materi buat Seni-Budaya Minahasa, sebuah program Radio Suara
Minahasa yang mengangkat kesenian tradisional. Istri (akhirnya mereka menikah)
dari kawan yang sedang hamil ketika bersama kami menyaksikan “Don Juan
Laki-Laki Dari Utara – Laki-Laki Bataru” pentas perdana, telah melahirkan
seorang bayi perempuan yang mereka beri nama Festival Hanayori Karema. Tiga
kata yang, menurut orangtua bayi mungil itu, menggambarkan segala
eksistensinya. Jika bukan untuk konsumsi media cetak (yang telah menyediakan
sedikit celah untuk tulisan-tulisan budaya), seharusnya tulisan ini masih
puluhan halaman lagi mengulas tentang Mawale Movement, seiring dengan
bertambahnya permintaan penjabaran ide gerakan budaya ini dari berbagai pihak,
dari berbagai belahan dunia. Tetapi, layaknya sebuah movement, seperti
juga bagaimana seharusnya memaknai karakter Don Juan, yang terpenting
bukanlah idenya, namun eksistensinya. Saya kemudian
mensaripatikan Mawale Movement menjadi tiga kata: Identity, Creativity,
& Contextuality.
I Yayat U Santi!
Komentar
Posting Komentar