IBADAH BUDAYA DALAM SEMANGAT BERTEATER
Efvhan Fajrullah
(Anggota Komite Teater Dewan Kesenian Palembang)
(Anggota Komite Teater Dewan Kesenian Palembang)
Teater adalah multi arts atau seni campuran, dimana semua
unsur-unsur seni yang lain seperti sastra, rupa (termasuk arsitektur), musik
dan gerak (tari) berbaur dan saling menunjang didalamnya, hingga tercipta
sebuah karya seni yang disebut teater. Teater juga merupakan seni yang
mengutamakan kerja sama (bukan berarti kerja kolektif)[1] sehingga
masalah kedudukan tidak terstruktur seperti satu garis
komando dari atas ke bawah, seperti struktur dalam ketentaraan. Perlu juga
diketahui bahwa kerja sama di sini berarti kebersamaan, yaitu komitmen setiap pendukungnya
melalui komunikasi yang bebas dan terbuka untuk menciptakan sebuah karya seni
yang handal. Komitmen melalui komunikasi yang bebas itulah yang biasa disebut
dengan manajemen dalam teater, yaitu sebuah cara atau aturan yang disepakati
bersama untuk mengorganisir kegiatan (produksi) sebuah karya pementasan. Dengan
demikian, karya seni yang dihasilkan oleh orang-orang yang tergabung didalam
produksi tersebut bukan hanya atau tidak sepenuhnya dihasilkan oleh satu orang
atau satu unsur saja.
Manajemen
produksi teater. Sebenarnya sudah jadi masalah yang pelik dan akut, bukan saja
terjadi di teater-teater amatir (baca; teater kampus dan pelajar), tetapi
kelompok-kelompok teater yang profesional dan semi profesional di Indonesia pun mengalaminya.
Sebut saja Teater Koma, mungkin satu-satunya teater Profesional yang cukup baik
dalam mengelola manajemen produksi. Akan tetapi, tetap saja manajemen produksi
di teater masih menjadi semacam konsep atau barang aneh dan berat untuk
dilaksanakan. Untuk itu, ada baiknya kita pilah dulu istilah manajemen produksi
teater atau pengaturan kerja produksi teater dengan manajeman teater (saja). Manajemen
teater yang dimaksud disini adalah bagaimana pengaturan dan perencanaan yang
berupa konsep atau aturan yang mengelola serta mengorganisir acara atau
kegiatan melalui sebuah administrasi (managing or being managed;
administration; persons managing a business)[2]. Kita coba menelaah tulisan Tommy F. Awuy
dalam bukuTeater Indonesia .
Di dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa teater Indonesia adalah teater yang penuh
ambiguitas[3]. Hal ini disebabkan oleh banyak hal,
terutama, menurutnya, teater Indonnesia hingga kini masih amatiran, baik dari
segi manajemen juga dari segi artistik (penyutradaraan, acting, skenografi).
Semuanya masih saling meraba meyakini fungsi, bidang kerja dan tugasnya
masing-masing. Selanjutnya Tommy F. Awuy menyatakan bahwa ambiguitas tersebut
disebabkan oleh alasan fanatik yang mengatakan bahwa teater tergantung pada
ekspresi realitasnya, sehingga bukan menjadi sebuah pertunjukan yang
iluvitasnya tinggi. Teater seharusnya mengelak, menolak, bahkan mentransendensi
realita. Banyak lagi contoh problema yang disampaikannya, tetapi kedua masalah
di atas adalah hal yang paling esensial sebagai bahan ulasan kita mengenai
geliat dunia teater an sich.
Di Indonesia besar ini, jika teater
masih dilaksanakan secara amatiran, baik manajemen atau artistiknya, tentu saja
akan menghambat mengalirnya lava penuh gejolak dan geliat umat jagad teater
dalam melakukan ibadahnya.
Keamatiran perteateran di Indonesia
besar, disebabkan oleh hal yang sangat mendasar, yaitu kurikulum pendidikannya
(secara akademik). Kurikulum pendidikan yang amatir tentu saja menciptakan
teater yang amatir pula. Sebagai contoh yang paling menonjol dari hasil
keamatiran itu adalah program studi akting dan penyutradaraan (STSI, ISI dan
IKJ).Dalam
kurikulum nasional program studi akting, mata kuliah yang diajarkan kebanyakan
tidak berhubungan dengan akting, tetapi malah “studi teater tentang akting,”
nah? Lalu, ambiguitas Kurikulum Nasional lebih nyata
kelemahannya di program studi penyutradaraan. Hanya di Indonesia besar, program
studi penyutradaraan diajarkan di jenjang S1. Di Negara-negara lain
penyutradaraan adalah bidang ilmu yang dianggap sangat tinggi (mungkin karena
melihat umur mahasiswa yang masih kurang pengalaman hidupnya), sehingga hanya
diajarkan di tingkat S2 dan S3.
Sedangkan di Indonesia besar, perbedaan program studi akting dan penyutradaraan hanya pada mata kuliah akting itu
sendiri, sementara mata kuliah lainnya sama, tetapi untuk mungkin untuk
penyutradaraan lebih banyak porsinya. Selain itu, mahasiswa yang mengambil
program studi Penyutradaraan tidak perlu mempelajari akting sama sekali.
Akhirnya alumni-alumni yang dihasilkan dari kurikulum yang campur aduk atau amburadul seperti ini, adalah pakar-pakar debat
kusir seni belaka.
Dalam
dunia seni dikenal motto 3B, yakni: BAIK, BENAR, dan BAGUS. Segala sesuatunya
harus bernilai (memiliki nilai) BAIK, karena
dilandasi oleh niat untuk memuliakan nilai-nilai kemanusiaan. Segala sesuatunya
harus bernilai BENAR, karena segala kiat kreatif
dilandasi metodelogi yang dapat dipertanggungjawabkan; karena memiliki kaidah
teknis yang mendasar. Segala sesuatunya harus bernilai BAGUS, karena segala nilai baik
dan benar tidak akan terwujud dengan indah jika tidak dikemas secara estetis.
Kita ambil contoh dari kehidupan nyata, jika diperhatikan, seorang pekerja di
bidang ilmu eksakta, sosial, ekonomi, maupun politik yang mampu menghasilkan
karya gemilang dan diakui oleh masyarakat luas, maka komentar umum yang muncul
adalah bahwa mereka telah mampu dan sampai pada kemampuanmenampilkan seni ilmu
eksakta, seni ilmu sosial, seni ilmu ekonomi, dan seni ilmu politik. Mereka
menjadi seniman di bidangnya. Demikian predikat yang diberikan kepada mereka,
karena telah mampu mengemas nilai baik dan benar secara bagus.
Dalam
jagad teater, proses kerja sama atau manajemen dibagi dalam empat bagian besar
dimana setiap orang yang terlibat beribadah dan ikut campur di dalamnya mengambil
peranan penting dalam menciptakan sebuah produksi yang “ensemble“(harmonis).
Pembagian kerja dalam sebuah karya seni (produksi) tersebut dilakukan sesuai
porsi masing-masing dan selalu sejajar tingkat komandonya. Pembagian kerja ini
dapat dilihat dari proses manifestasi naskah sebuah karya sastra yang murni
menuju sebuah karya teater (pertunjukan). Naskah yang menjadi petunjuk utama
dieksplorasi oleh sutradara yang nantinya menjadi konsep produksi. Para aktor
dan penata artistik akan melakukan penafsiran dan juga eksplorasi untuk
menentukan pilihan-pilihan artistik mereka menciptakan sebuah peristiwa atas
konsep sutradara yang nantinya akan dinikmati oleh penonton dalam sebuah
pertunjukan.
***
12 tahun
lalu, tepatnya pada tahun 1996, dengan nekad dan biaya sendiri, saya mendatangi
kota Bandung yang saat itu sedang menjadi tuan rumah Temu Teater Indonesia.
Saya (yang saat itu masih berstatus mahasiswa Universitas Sriwijaya) dipercaya
oleh teman-teman di Lingkar Studi Teater Palembang (LSTP) sebagai Sekretaris
Jenderal, pura-puranya menjadi peninjaulah. Berbekal semangat beribadah dalam teater, saya,
Darto Marelo dan Anwar Putra Bayu, bergerilya membuka linkdengan teman-teman penggiat
teater seluruh Indonesia yang hadir saat itu. Masing-masing kami berusaha
berinteraksi dan bertukar informasi dengan teman-teman yang se-generasi pada
tatanan usia (kebetulan kami bertiga terdiri dari generasi yang berbeda),
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan perkembangan dan geliat perteateran di
daerah masing-masing. Saya mendapat jatah berinteraksi dengan teman-teman
dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) dari seluruh daerah yang memiliki
sekolah tinggi dan teman-teman penggiat teater dari universitas atau
kampus-kampus dan pelajar yang ikut dalam temu teater tersebut.
Tak dapat
saya ungkapkan, betapa bahagia dan sumringah jiwa saya ketika dapat bertukar berita
dan cerita dalam komunitas yang menghirup atmosfir keriangan dan kegairahan beribadah budaya dalam semangat
berteater saat itu. Betapa
tidak, jiwa, pikir dan batin saya
seketika menggeliat dan membuncah dalam kebahagiaan yang alang kepalang.
“Inilah habitat saya....“, batin saya bergumam. Akan tetapi, dari sekian banyak
masukan pengetahuan dan informasi yang saya himpun dalam file batin dan otak, terdapat juga sekian
banyak persoalan dan masalah yang cukup membuat saya tersadar untuk kembali
bertanya pada diri saya, mengenai ironi perkembangan dan eksistensi
teater-teater kampus dan (apalagi) teater pelajar. Masalah yang utama adalah
regenerasi. Kelompok-kelompok teater tersebut seperti jamur di musim hujan,
lalu kerontang dan hilang di musim kemarau. Timbul-tenggelam karena
ditinggalkan pentolan penggiatnya. Yang ke-dua, tentu saja masalah manajemen
seperti yang saya ungkap di atas. Lalu, karena semua unsur tadi digarap secara
amatiran, tentu saja menghasilkan suatu karya yang juga amatiran dari tinjauan
kualitas suatu karya. Coba kita bayangkan, jika kualitas suatu karya teater
yang diproduksi oleh kelompok-kelompok teater atau penggiat-penggiat teater yang
memang berbasis dari perguruan tinggi seni (yang memang khusus belajar secara
akademis) saja masih sering amburadul, lalu bagaimana dengan karya-karya
kelompok-kelompok teater kampus lain, yang bukan berbasis sekolah seni (yang
berteater hanya karena sekedar menyukai dan mencintai dunia teater; amatir)?
Tidak bisa tidak, semangat berteater tersebut harus disalurkan sedemikian rupa
dalam proses pembelajaran yang BAIK dan BENAR, supaya menghasilkan
penggiat-penggiat teater yang “BAGUS.“ Bukan yang hanya “sekedar karena“
menyukai, melainkan mencintai atas dasar “memahami“. Sehingga mau belajar dan
membuka wawasan, dan bukan hanya kuantitas pentas dan jumlah penonton yang
diutamakan, tetapi lebih terpacu untuk menampilkan sebuah karya yang memang
berkualitas. Baik dari segi manajemen, maupun dari segi artistik. Semoga.
Pada tahun
2003, di sela-sela pementasan teater pada sebuah perhelatan dengan judul acara
“Pekan Performing Art (PPA)“ di Universitas Udayana, Bali, saya dan Ratna
Sarumpaet (saat itu baru saja dikukuhkan sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian
Jakarta), serta beberapa teman mahasiswa penggiat teater dari beberapa
Universitas di Indonesia terlibat dalam pembicaraan santai dan ngalor-ngidul. Dalam keasyikan
dialog santai tersebut, saya terhenyak oleh pernyataan yang saya tangkap saat
itu bersifat seperti keluhan dari salah seorang teman pentolan Teater Orok
(Universitas Udayana), “Fvhan..., saya sudah capek ngurusin teater kampus dan
pelajar. Amatiran terus, jadigak pernah
bisa total berkreasi. Manajemen produksi, artistik, kemasan pentas, hingga
dramaturginya gak pernah serius digarap....“ Saya
tak mampu menjawab keluh kesah rekan saya itu. Hanya saja, setelah sekian tahun
berselang, seiring dengan bertambahnya usia dan pikir, setelah sekian banyak
bergelut dan menggeliat dalam proses belajar dan mengajar (baca; mendidik)
dalam jagad teater, semangat saya bangkit. Akhirnya saya mendapat jawab atas
keluhan rekan saya dari teater Orok tersebut. Karena saya selalu terbiasa
menanggapi sesuatu dengan serius dari sudut keindahan, maka saya serius juga
bekerja lebih keras guna mensosialisasikan dan mengaplikasikan pengetahuan
tentang teater kepada generasi muda, khususnya di kampus-kampus dan pelajar.
Baik itu berupa buku-buku tentang teater, vcd pementasan, sampai ikut turun gunung untuk mendidik di ekskul teater di
berbagai sekolah, sebagai ibadah bagi saya, juga agar di kemudian hari
akan tidak ada lagi yang berkeluh kesah seperti rekan saya dari teater Orok
itu.
Karena, teater bagi saya adalah sebuah ibadah budaya. Sebagaimana umat
manusia memilih agama yang dianutnya, berdasarkan keyakinan masing-masing. Maka
sebagai umat yang beragama, tentu
saja harus menjalankan ibadah sesuai dengan tuntunan dan keyakinan yang dianut.
Nah, jika saya analogikan hal tersebut dengan konteks kebudayaan, yang dalam
hal ini adalah teater, maka berteater adalah ibadah yang saya lakukan sebagai
upaya menjalankan tuntunan dan keyakinan sebagai mahluk seni yang “berbudaya,”
diusahakan melalui cara yang baik dan benar.
***
Ketika saya tengah giat-giatnya
menyusun program diklat (Pendidikan dan Latihan) teater untuk pelajar,
datanglah kabar dari Muhammad Azhari yang meminta saya untuk menulis prakata
untuk bukunya yang berjudul “Manajemen Teater, Perencanaan dan Pementasan
Drama/Teater di Perguruan Tinggi dan Sekolah Menengah.“ Pucuk dicinta, ulam pun
tiba. Dengan mengucap syukur terlebih dahulu, saya menyatakan rasa
amat-teramat-sangat bahagia karena mendapat kehormatan menulis prakata di buku
tersebut. Terlepas dari luas atau tidaknya, dalam atau dangkalnya, kurang atau
lebihnya isi buku itu, saya pikir akan tetap berharga dan sangat besar
manfaatnya untuk siapapun yang mengaku mencintai teater. Baik itu seniwan (meminjam istilah Nurhayat Arief
Permana) teater, dosen, guru, pengajar, mahasiswa atau pelajar sekalipun,
sebagai referensi belajar dan mengajar yang baik dan benar. Karena itu, ucapan
syukur alhamdulillah tetap saya sampaikan, karena telah
terbit lagi sebuah buku kupasan tentang jagad teater (secara didaktis dan
metodelogis) yang memang masih terbilang sedikit di Indonesia besar ini. Dan ibadah saya, serta penggiat-penggiat
teater lainnya (semoga Muhammad Azhari juga merasa beribadah) dalam semangat berteater,
takkan kunjung padam.
Terimakasih, dan mudah-mudahan tulisan yang lumayan
panjang ini layak dijadikan kata pengantar bagi sebuah buku yang berharga,
sebelum jadi lebih panjang, bertele-tele dan membosankan.
Palembang, Desember 2008
Salam,
Efvhan Fajrullah
[3] Tommy F.Awuy, “Teater Indonesia dalam Ambiguitas
dan Ironi”, dalam Teater Indonesia, penyunting Tommy F.Awuy, Jakarta:
Dewan Kesenian Jakarta, 1999. hlm. 330-335.
Komentar
Posting Komentar