MASA DEPAN POLITIK MINAHASA
Matulandi P.L. Supit.
I
Tradisi politik Minahasa bermula dari hubungan
kekeluargaan yang merupakan media komunikasi sesama anggota komunitas, salah
satu yang tertinggal adalah lembaga pemilihan Hukum Tua. Walaupun lembaga tersebut
telah beradaptasi dengan pola luaran namun sebagian besar mekanisme pemilihan
masih merupakan warisan masa lalu. Yang menarik dari lembaga ini adalah semua
anggota komunitas perempuan maupun lelaki memiliki kesempatan yang sama untuk
dicalonkan sebagai pemimpin wanua. Melalui kriteria baku kepemimpinan yakni,
kearifan dan keberanian setiap orang ditimbang dan diuji secara magis – religius. Misalnya, tradisi
penjaringan calon Hukum Tua di Pakasaan Toulour: setiap orang calon harus
melalui sebuah rintangan yang terdiri dari pedang dan perisai atau supera yang
disilang. Rintangan tersebut diyakini sebagai alat uji bagi setiap calon karena
mungkin saja ada calon yang tidak dapat melalui rintangan tersebut. Salah satu
bentuk uji kemampuan dan kelayakan yang kita kenal sekarang. Tahap berikutnya
adalah mekanisme pemilihan: setiap calon berdiri dihadapan pemilih untuk
selanjutnya secara langsung bagi siapa yang memilih salah satu calon segera
berbaris dibelakangnya. Yang terbanyak dinyatakan sebagai Hukum Tua.
Persaingan yang sangat terbuka dan jujur ini
merupakan inti tradisi politik Minahasa di masa lalu. Siapa saja yang tidak
lolos sejak awal maupun kalah banyak pendukung dalam pemilihan tidak
tersinggung apalagi merasa ditipu dan sebagainya.
II
Watu Pinawetengan merupakan monumen politik
Minahasa saat itu untuk yang pertama kalinya junjungan Lumimuut dan Toar
membagi: apo(ideologi), apar(wilayah kerja) dan popo(sistem sosial). Proses yang
terjadi setelah pembagian tersebut melahirkan Tountemboan, Tombulu, Tonsea,
Toulour, TouBantik, TouPasan-Ratahan, TouPonosakan, TouBanbontehu. Sesuai
catatan sejarah gelombang migrasi dari berbagai penjuru maupun ekspansi yang
dilakukan oleh kerajaan – kerajaan mewarnai peradaban bangsa Minahasa
sesudahnya. Puncak tradisi politik Minahasa dan sekaligus sebagai titik
kulminasi terhitung sejak meletusnya Perang Moraya 1808 – 1809. Kekalahan yang
diderita sekaligus merupakan awal hancurnya tradisi politik Minahasa. Proyek
rekayasa sosial kolonialis berhasil merasuki sendi kehidupan bermasyarakat di
Minahasa, merubah sistem yang kolektifistik menjadi individualistik. Dan
terakhir melalui proyek nation – building
dibawah Republik Indonesia, bangsa Minahasa luluh – lantak ditelan gelombang
penguasaan. Hasilnya adalah masyarakat yang tergantung kepada kekuasaan.
III
Dua gambaran singkat di atas merupakan
petunjuk bahwa bangsa Minahasa sekarang ini terdiri dari puing – puing bangunan
masa lalunya. Keretakan sosial merupakan fenomena disetiap event
kemasyarakatan. Haus kekuasaan dan kekayaan merupakan pola kehidupan
masyarakat. Semua itu merupakan ekses dari ketergantungan yang telah diciptakan
oleh kekuasaan. Untuk mengatasinya dibutuhkan rekonstruksi bangunan politik
Minahasa melalui kontrak sosial baru yang berisi kesepakatan semua pihak. Tidak
ada jalan lain untuk mengatasinya selain duduk dan berbicara serta bersepakat
dan ditindaklanjuti.
Komentar
Posting Komentar