Masyarakat Yang Mudah Dibohongi
Oleh: Denni Pinontoan
Beberapa minggu terakhir ini warga Kota Tomohon ramai dengan rumor “aliran sesat”, “aliran setan”, “berhala” dan berbagai istilah lain yang terkait dengan apa yang selama ini dijadikan sebagai momok. Menarik, ketika justru rumor ini beredar di “kota religius”, kota di mana kantor pusat gereja terbesar di Tanah Minahasa, GMIM berada, sejumlah gedung gereja dan sekolah-sekolah gereja Roma Katolik berdiri. Di sudut kota juga ada sebuah komunitas kultural-religius, Kampung Jawa Tomohon.
Entah dari mana isu itu dihembuskan. Yang jelas, kalau ingin mencari tahu adanya isu itu tidak sulit. Selain sejumlah media cetak harian hampir setiap hari di beberapa minggu ini menuliskan kata itu di judul beritanya, namun juga media-media online ramai dengan itu. Coba ke situs google.com,kemudian ketik kata kunci “Tomohon” dan “aliran sesat”, pasti anda akan menemukan banyak informasi yang berisi tentang isu itu. Sejumlah media di daerah ini yang mutu jurnalismenya rendah, tampak senang dengan kata itu sebagai judul berita. Meskipun, sering di tubuh beritanya tidak ada fakta adanya “aliran sesat” atau “aliran setan.” Narasumber yang diliput yang menyatakan tentang adanya ”aliran sesat” atau ”aliran setan” juga tak jelas dan meragukan.
Tapi, kata atau istilah itu telah berhembus, seperti virus yang dibawa angin, menyebar ke mana-mana. Ia sulit dibendung. Nalar yang mestinya cerdas, karena kota ini adalah juga kota pendidikan seperti menjadi lumpuh. Begitu muda masyarakat mempercayai sesuatu yang tidak bisa dibuktikan. Anehnya, soal fakta korupsi yang bertengger di puncak-puncak kekuasaan, paling sering dianggap ”kabar burung” yang politis. ”Biasa, itukan isu yang sengaja dihembuskan untuk menjatuhkan torang pe bos,” kita mungkin pernah mendengar orang berkata begitu ketika hal korupsi dituduhkan kepada pemimpin yang dulunya ia dukung mati-matian.
Sejumlah media di daerah ini – yang juga bagian dari masyarakat itu – kemudian lebih muda menyebut siswa-siswi yang tiba-tiba pusing dan mengigau sebagai ”kesurupan iblis” karena katanya memegang ”jimat”. Sebaliknya elit-elit yang pulang-pergi luar daerah/negeri untuk pesiar sering disamarkan dengan kata ”studi banding sebagai.” Masyarakat kita agaknya semakin sulit membedakan, mana”omongan” pejabat yang ”butul” dan yang ”towo.” Sama halnya, mereka lebih percaya ”doktrin” penaklukan oleh orang atau institusi yang berwajah ”surga”, ketimbang pada sejarah, budaya dan makna sebuah artefak yang mewarisi jejak identitas mereka dan anak cucu mereka sendiri. Masyarakat kita semakin mudah dibohongi. Investor yang sedang menghancurkan tanah, hutan dan laut dipercaya, diterima bahkan didukung hanya karena ”kebohongan” keejahteraan yang mereka sebarkan.
Fenomena ini sebetulnya umum dalam masyarakat kita. Bukannya hanya di sini, tapi juga di berbagai tempat lainnya. Memang ada yang berpendapat, ‘tahayul-tahayul” yang mistis dan magis memang khas di Minahasa ini. Agama tuanya, kata sementara kalangan, sangat mistis dan mempercayai sesuatu yang supranatural. Masyarakat yang hidup dengan mitos dan tahayul, yang katanya berbeda dengan masyarakat Barat yang rasional. Namun, bukankah, awal dari semua peradaban atau agama dan kebudayaan terkait dengan yang mistis, magis dan yang supranatural? Oleh karena perubahan, dialektika sejarah, maka suatu masa ”rasio” diterima sebagai sesuatu yang penting bagi masyarakat untuk menguji dan merumuskan ”kebenaran.” Tapi, sesungguhnya ia tidak mengganti ”intuisi”, bahwa kemudian antara yang rasional dan yang intuitif bisa berjalan bersama, meski memang sering saling sikut, saya kira itu faktanya sampai hari ini.
Sebetulnya, apa yang magis, mistis dan supranatural dari masyarakat primitif dilanjutkan terus oleh agama-agama ”modern”. Cuma bentuk dan isinya yang berbeda. Namun untuk sebuah dominasi, maka yang primitif harus distigma sebagai ”sesat” dan ”berhala”, dan yang modern, yang sekali lagi kelanjutan dari yang primitif, dengan sombongnya menganggap diri paling ”suci” dan ia adalah yang ”benar.” Tapi, sesungguhnya, keduanya, ”yang primitif” dan ”yang agamis” (agama modern) sama-sama bersoal dengan rasionalisasi-materialistik ala kapitalisme, yang mengendalikan negara untuk menaklukan dan merampas kehidupan masyarakat. Dan persoalan menjadi lebih parah, ketika ilmu pengetahuan kita: sosiologi, antropologi termasuk teologi masih bercorak positivistik, yang mengklaim diri bebas nilai, yang tanpa rasa, tanpa solidaritas dan tanpa ruang. Sementara, cela ini dinilai sebagai kesempatan yang sangat baik bagi kalangan fundamentalis agama-agama untuk ”menuai jiwa-jiwa” yang berhasil tercerabut dari akar identitas. Akar identitas itu telah berhasil dicabut dan dihancurkan oleh kapitalisme, agama modern yang hegemonik dan politik negara yang hanya berpikir kekuasaan.
Masyarakat dalam kondisi demikian memang lebih percaya kepada kebohongan-kebohongan doktrin sejahtera oleh negara, doktrin kaya oleh kapitalisme dan doktrin surga oleh agama. Demikianlah sebuah ciri masyarakat yang (hampir) kehilangan identitas, jati diri dan akar tradisi. Situasi ini akan semakin cepat terjadi ketika penanda-penanda tradisi, sejarah, dan identitas justru secara ramai-ramai dihancurkan hanya oleh hembusan rumor ”aliran sesat” atau ”aliran setan.” Dengannya, tanpa disadari masyarakat kita sedang benar-benar menjadi ”tersesat” dari arah hidupnya yang benar dan pula sedang menjadi ”setan” atas kehidupan anak-cucunya. Jangan sampai itu terjadi!
Komentar
Posting Komentar