Posisi dan Problem Penyutradaraan Teater Pelajar
Oleh Autar Abdillah
Teater
Pelajar lebih berkonotasi pada teater sekolah menengah umum maupun kejuruan
(SMP/MTs; SMU/MA; SMK). Di samping teater pelajar, juga dikenal istilah teater
remaja yang lebih berkonotasi pada teater kalangan SMU/MA maupun SMK. Namun
demikian, teater remaja bukan semata-mata kalangan sekolah. Mereka juga
kalangan yang putus sekolah atau yang berada pada tingkat usia remaja, atau di
bawah dua puluh tahunan.
Entah sejak kapan nama teater pelajar
ini muncul, dan untuk apa pula penamaan semacam ini digunakan. Namun yang
pasti, teater pelajar merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan pertumbuhan
teater itu sendiri. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas RI) –dalam hal
ini Pusat Perbukuan, bekerjasama dengan Badan Nasional Standar Pendidikan
(BNSP) bahkan sedang merancang buku pelajaran teater untuk SMP/MTs; SMU/MA; dan
SMK, baik negeri maupun swasta.
Apabila kita menilik ke belakang,
kalangan terpelajar Indonesia masa lalu, atau setidaknya era Boedi Oetomo,
telah mulai melakukan berbagai upaya transformatif. Embrionya dimulai dengan
munculnya “Komedi Stamboel” di akhir abad sembilan belas, rombongan kedua
teater ini muncul di Surabaya pada 1891. Kegairahan terhadap teater, khususnya
teater yang bernuansa melayu sedemikian besar. Namun demikian, teater-teater rakyat
yang muncul lebih dahulu dengan media tutur dan berkembang ke dunia panggung
teater, tidak pernah luntur. Bahkan, teater-teater rakyat tersebut mampu
menciptakan persaingan yang sehat, hingga zaman keemasannya pada 1920-1930-an.
Dalam memasuki abad kedua puluh, juga
diwarnai munculnya teater opera Cina pada 1909. Nasibnya tak lebih baik dengan
Komedi Stamboel yang mulai melemah dengan lahirnya kegairahan baru dalam
memahami idiom maupun metode teater yang datang dari Rusia dan Inggris, bahkan
Jerman, Perancis, Amerika dan negara-negara Skandinavia pun turut menyumbangkan
pandangan-pandangan baru teater selanjutnya. Dengan demikian, kalangan
terpelajar Indonesia yang masih berada di bawah penjajahan Belanda maupun
Jepang memiliki banyak kesempatan memahami berbagai disiplin maupun pandangan
teater.
***
Paling tidak, sejak 1913, kalangan
terpelajar Indonesia menikmati karya Victor Ido yang diterjemahkan oleh Lauw
Giok Lan menjadi Karina Adinda, seperti ditulis oleh Tjiong Koen Bie
(1913) dan Jacob Sumardjo (1992). Kesadaran baru pada masa-masa itu, melahirkan
banyak lakon-lakon perjuangan tanpa mengurangi upaya-upaya penerjemahan maupun
saduran dan adaptasi yang terus menerus terhadap lakon-lakon yang datang dari
dataran Eropa.
Setelah tiga puluh tahun Indonesia
merdeka, meski terjadi sejumlah perubahan yang mendasar, namun saat inipun
masih dapat kita saksikan, kalangan terpelajar kita menggunakan lakon-lakon
yang seharusnya sudah mereka ‘reformasi’ untuk kepentingan diri mereka. Dalam
sepuluh tahun terakhir ini, sebagian besar teater pelajar justru tidak
memotivasi diri mereka sendiri, seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Mereka masuk dalam kubangan motif pertunjukan yang mengasingkan mereka pada
dunia keseharian. Hanya beberapa kelompok teater pelajar yang mencoba melakukan
berbagai penggalian untuk menemukan karakter teater dari kalangan terpelajar
yang mereka sandang sebagai bagian dari identitas mereka.
Motif pertunjukan yang menjadi dasar
pada teater pelajar sekarang ini berdampak cukup serius pada rendahnya
apresiasi teater yang mereka hidupkan. Hal ini disebabkan oleh pengambilan
bahan-bahan pertunjukan yang semata-mata pada teks lakon, apalagi teks lakon
tersebut “diwajibkan” pada mereka untuk menggunakannya. Sementara itu, media untuk memasuki
teks-teks lakon tersebut sangatlah terbatas. Keterbatasan tersebut bukan saja
karena asumsi perkembangan teater yang masih belum memadai dalam menghadapi
pertumbuhan aktivitas diluar teater, tetapi juga keterbatasan motivasi yang
telah terlanjur menjadikan teater semata-mata sebagai sebuah pertunjukan.
Di samping itu, bagi kalangan sekolah,
suatu aktivitas siswa dilihat dari kemampuan siswa untuk meraih prestasi yang
mengharumkan nama sekolah. Dengan kata lain, kegiatan atau aktivitas berteater di sekolah tidak
dilihat dari proses pencapaian teater tersebut dan dampaknya pada aktivitas
belajar. Dan,
lebih ironis lagi, masih terdapat sejumlah sekolah yang melakukan larangan
tidak tertulis, bahwa berteater di sekolah tersebut diharamkan. Tidak ada
sarana, apalagi izin untuk mengikuti kegiatan teater.
***
Masing-masing wilayah di Indonesia,
memang memiliki tingkat yang berbeda dalam memasuki dunia teater. Bahkan, antar
wilayah di Jawa Timur pun memiliki perbedaan signifikan satu sama lainnya. Hal ini ditentukan oleh
tingkat pergaulan teater tersebut dengan berbagai pemahaman teater.
Teater pelajar di sejumlah kota-kota
besar di Indonesia, barangkali cukup beruntung. Sejarah teater dan sejarah
teater pelajar kita telah memberikan isyarat yang sangat tegas, bahwa teater
berjalan beriringan dengan nafas kehidupan publiknya. Pada tingkat selanjutnya,
teater menjadi jembatan dalam memahami pertumbuhan yang bergejolak
disekitarnya. Dan, akhirnya teater tidak pernah berakhir di panggung
pertunjukan. Teater berkelebat dalam darah, dalam nadi, di jantung, di hati dan
ditengah-tengah denyut kehidupan semua orang, semua pihak.
Problem Penyutradaraan
Teater sekolah saat ini dapat
berlangsung dalam tiga aspek apresiasi dan kreasi, yakni (1) teater di dalam
kelas, (2) teater untuk kompetisi sekolah, seperti festival maupun lomba, dan
(3) teater untuk terapi. Ketiga aspek ini dapat dilakukan hanya dalam satu
aspek, dapat pula dilakukan secara bersamaan.
Konsepsi dasar teater di dalam kelas
adalah memahami karakter antar manusia sebagai bagian dari proses sosialisasi
dalam kehidupan bermasyarakat. Teater di dalam kelas dapat mengambil tema-tema
yang terjadi di sekitar lingkungan siswa. Mereka apresiasi peristiwa-peristiwa
yang terjadi, membuat kerangka cerita, dan menentukan peran-peran yang bisa
mereka lakukan. Setelah ketiga langkah ini diselesaikan, maka para siswa bisa
memperagakannya di depan kelas atau di tempat duduknya masing-masing, tanpa
terbebani oleh masalah teknis artistik panggung. Guru cukup memfasilitasi dan
melakukan pengawasan terhadap aktivitas siswa.
Jika kita bekerja untuk teater yang
berorientasi pada kompetisi siswa –semacam festival, maka terdapat beberapa hal
yang perlu kita perhatikan. Pertama, pahamilah apa yang ditentukan oleh
penyelenggara, termasuk instrumen penilaian yang akan digunakan. proses
selanjutnya adalah berlatih. Penyutradaraan merupakan salah satu aspek penting
yang dapat meminimalisir kekurangan pada aspek lain –artistik dan pemeranan.
Aspek penyutradaraan tersebut adalah (a) menentukan nada dasar. Ibarat sebuah partitur lagu,
maka nada dasar akan menentukan arah nada selanjutnya. Nada dasar suatu teks
maupun naskah dapat dilakukan dengan memahami titik tolak dari suatu teks.
Misalnya, cerita tentang seorang rentenir yang kejam. Pahamilah terlebih dahulu
akar kekejaman (titik tolak untuk nada dasar) seorang rentenir yang akan
dijadikan pijakan. Ikutilah terus pergerakan atau alur kekejaman. Buatlah
gradasi dari setiap perubahan alur tokoh ini;
Aspek selanjutnya (b) adalah membangun
dinamika ruang. Artinya, ruang pertunjukan benar-benar hidup sepanjang
pertunjukan. Penonton diharapkan tidak berkedip sedikitpun, dan selalu
memandangi panggung. Dinamika ruang ini tercipta melalui berbagai kemungkinan
interaksi, baik antar individu, bunyi maupun dengan peralatan atau perabotan
yang telah disiapkan.
Aspek lain adalah spontanitas yang
menjadi ciri khusus dalam teater-teater Asia, termasuk Indonesia. Ciri ini
membawa bentuk-bentuk teater di Indonesia lebih komunikatif, interaktif, dan
dapat membangun muatan lokal dan kearifan lokal yang kondusif. Selain
bercirikan spontanitas, teater Indonesia juga memiliki kemungkinan dalam
pengembangan pengolahan tubuh yang berkorelasi dengan pembentukan kepribadian.
Selain pengolahan tubuh, pikiran dan suara, mengolah tubuh juga berkaitan erat
dengan pengolahan komponen kejiwaan yang sejalan dengan nilai-nilai etis,
moral,sosial dan kultural. Pengolahan ini bertujuan untuk menumbuhkan rasa
percaya dii siswa dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupannya, termasuk
dalam mengikuti proses pembelajaran
Sisi lain adalah gaya pertunjukan.
Jawa Timur banyak memiliki sutradara dengan berbagai gaya (style) yang bersifat
teknis, misalnya style internal progressive, yaitu gaya penyutradaraan yang
berangkat dari potensi diri para pemainnya. Para pemain didorong untuk
mengkonstruksi tubuhnya –maupun ucapannya sendiri. Sedangkan style eksternal
progressive lebih menekankan kemauan sutradara. Kemauan sutradara bisa masuk
pada tingkat pembentukan teknis ruang, seperti komposisi, dinamika pengisian
ruang yang memang hampir tidak mungkin dilakukan seorang pemain.
Demikianlah pengantar yang dapat saya sampaikan. Diskusi
dan dialog menjadi lebih penting untuk membuka pemahaman yang lebih mendalam.
Semoga bermanfaat…
* staf pengajar drama pada jurusan Seni Drama Tari dan
Musik (Sendratasik) Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya.
Konsultan/Tim pengembang penulisan buku teks pelajaran Teater SMP/MTs dan SMA/MA
Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) dan Pusbuk Depdiknas RI
Komentar
Posting Komentar