Sebuah kisah cinta tanpa kata-kata...
Karakter-Karakter:
- Dalam Satu:
1. Pria
- Dalam Dua:
1. Pria
2. Wanita
3. Penari Pria Pertama
4. Penari Pria Kedua
5. Penari Wanita Pertama
6. Penari Wanita Kedua
- Dalam Tiga:
1. Pria
2. Wanita
3. Sosok-Sosok Hitam
- Dalam Empat:
1. Sosok Pantomime
2. Sosok-Sosok Statis
- Dalam Lima:
1. Pria
2. Wanita
3. Sosok-Sosok Hitam
- Dalam Enam:
1. Pria
2. Kekasih Pria
3. Kekasih Wanita
- Dalam Tujuh:
1. Wanita
2. Kekasih Pria
3. Kekasih Wanita
- Dalam Delapan:
1. Pria
2. Kekasih Pria
3. Kekasih Wanita
4. Sosok-Sosok Hitam
Satu
Panggung gelap lengang. Sebuah soft spotlight
menyorot dari belakang ke depan panggung dengan cahaya redup, hanya cukup untuk
memunculkan siluet-siluet dan sedikit lantai sekitar. Di sana ada sepasang meja
kursi kayu dengan setumpuk kertas yang tak beraturan. Ada sebuah pena di atasnya. Di samping
kertas itu ada secangkir kopi yang telah dingin. Sebuah lampu meja menerangi
meja itu sekaligus mencipta bayang-bayang di sekeliling. Ada beberapa gumpalan
kertas bertaburan di sekeliling. Seseorang sedang duduk bersandar. Bayangan
lampu tadi menyamarkan wajahnya dalam kegelapan. Dalam keremangan tergambar
pakaiannya: kemeja tua dengan kancing terbuka, lengan panjang dilipat sesiku.
Tangan kanannya diletakkan di meja sambil menjepit sebatang rokok yang abunya
telah lama tak dijentikkan. Asap menggantung tipis. Kemudian ia beringsut maju
perlahan. Wajahnya yang tadi tersamar bayangan mulai nampak perlahan. Sayang,
sebelah tangannya dipergunakan untuk menyangga wajah sehingga menutup mata dan
sebagian wajahnya. Tangannya bergerak lambat mengusap muka hingga jatuh
perlahan di dagunya. Ia menengadah dengan mengejam mata sambil menarik napas.
Perlahan ia mengembus napas dan kembali menunduk. Pandangannya mengarah pada tumpukan
kertas. Tangan kirinya bergeser dari dagu dan menopang kening. Ia menjentikkan
abu rokoknya ke lantai samping. Sekarang, wajahnya disinari lampu meja.
Wajahnya sedih, lusuh dan berminyak. Rambutnya hampir tak tersisir.
Pandangannya nanar. Keningnya berkerut samar. Perlahan, tangan kanan yang
menjepit rokok disorongkan kedepan menggapai asbak. Rokok dimatikan dengan
sebuah gerakan saja. Tiba-tiba ia meraih cangkir kopi itu dengan dua tangan dan
menghirupnya dengan penuh rindu, seolah sedang bercengkrama dengan kekasih yang
lama tak berjumpa. Kedua tangannya kemudian bergerak perlahan meraih pensil dan
mulai menggores perlahan kertas yang memapar dihadapannya. Setelah itu, pensil
itu diletakkan dengan perlahan. Dipegangnya kertas itu dengan tangan kanan,
sementara tangan kirinya kembali menyangga kepalanya sehingga menutupi mata
kirinya. Mata kanannya menatapi kertas seolah membaca. Ia menarik napas panjang
dan menghembusnya seraya wajahnya menunduk. Sejenak kemudian, perlahan ia
kembali mengangkat wajah menatap nanar kedepan. Pandangannya tanpa fokus.
Keningnya berkerut. Ia mulai memuisi dengan suara berat, penuh kekecewaan:
Jika ada yang bertanya
Tentang makna cinta
Saat ini aku tak lagi punya jawabnya
Karena bagaimana mungkin mengukur
sesuatu yang tak lagi terasa
bagaimana mungkin menaksir
bentuk yang kini tak kasat mata
bagaimana lagi menilai harga benda
yang sudah tanpa makna
tidak...
aku memang bukan Sang Suci
Cuma lahir dan nanti mati
Sering rindu udara pagi
Menangis dalam hati
Ketika anjing kesayangan sakit lantas pergi
Bahkan memendam rindu
Buat kekasih yang tlah lama lari
Tahun-tahunku sarat bayangan
Kau tak tau pahit yang kurasakan
Melarung anak sulung korban perbedaan
Lalu apa arti kehidupan?
Hilang sudah dari ingatan
Tetapi mari duduk di sisiku
Atau jika kau malu
Biar aku yang menghampirimu
Kita bisa membunuhi waktu
Dan mungkin dapat kuajarkan
Bagaimana menelan masalalu
Atau membuat cake coklat-
Kalau kau mau
Akupun
bukan pemuja kata
Sebab tak punya nyawa ia
Tanpa
tarian bermakna
Sebentuk pena
Pun
aku tak percaya cinta
Yang lahir tiba-tiba
Tanpa
kenal apa dan siapa
Mulut-mulut yang mengeja
Jadi jikapun cinta tlah mengata
Dalam kalimat menyala-nyala
Ketika malam-malam buta
Itu hampa
Tanpa kita sadar menerima
Tawa dan tangis bersama
Alur
hidup gila maya
Yang
pernah datang menyapa
Lalu
kau… Aku…
Akan menangis dan tertawa bersama
Dan belajar tentang cinta…
Setelah itu ia kembali menunduk. Kertas yang
dipeganginya ia remas perlahan-lahan dengan kedua belah tangan di depan
wajahnya. Kemudian ia beringsut mundur kembali kedalam gelap. Hanya kedua
tangannya yang masih tampak. Remasan tangannya dibuka perlahan. Gumpalan kertas
itu ada di telapak tangan kirinya. Ia mengangkat sedikit tangan itu.
Jari-jarinya gemetaran. Gumpalan kertas itu kemudian dibiarkan jatuh
menggelinding ke lantai... Lampu berangsur redup.
*
Dua
Bagian depan panggung berangsur terang. Ada
dua orang disana. Seorang wanita sedang duduk di atas sebuah kadera menghadap
ke samping. Wajahnya tertunduk. Rambutnya tergerai menutupi sebagian mukanya.
Tangannya terlipat dengan anggun di atas pahanya. Ia mengenakkan gaun selutut
berwarna merah. Di bagian lain depan panggung, tak jauh dari wanita itu,
seorang pria sedang berdiri tenang. Pandangannya lurus ke depan, namun agak ke
atas, tangannya menyisip kantong celananya. Wajahnya bersih, matanya cemerlang.
Ia mengenakkan kemeja putih dan celana hitam. Sejenak ia mengalihkan pandangan
kearah belakang, kearah wanita itu. Pandangannya kemudian kembali ke depan,
tetapi kali ini kearah bawah. Dia menarik napas dan tersenyum. Dia kemudian
membalik badan dan mulai melangkah perlahan-lahan menuju kepada wanita itu
kemudian berhenti tepat di depannya. Ia berlutut dan seolah mencopa menangkap
pandang mata wanita itu tapi ia menunduk terlalu dalam. Pria itu menyentuh dagu
wanita itu dengan tangan dan mengangkatnya sedikit, cukup untuk saling pandang
mata. Pria itu beringsut berdiri dengan lambat, sedang tangannya tetap
menyentuh dagu. Wanita itu pun perlahan menengadah. Pandangan mereka tak lepas
selama beberapa saat. Selanjutnya wanita itu mengangkat tangan kanan yang
disambut oleh pria itu. Wanita itu perlahan bangkit dari duduknya. Sekarang
mereka berdiri berhadap-hadapan, mata mereka berpautan dan sejenak mereka diam
dengan tangan yang saling berpegangan setinggi perut. Lelaki itu menarik tangan
wanita itu dan di ciumnya lembut. Wanita itu tersenyum dan mendekatkan tubuhnya
kepada pria itu kemudian ia meletakkan kepalanya di dada pria itu. Wajahnya
menghadap ke depan. Matanya terbuka dan bersinar damai. Mereka mulai bergerak
perlahan, sebuah dansa yang lembut. Di bagian belakang, dari kedua sisi
panggung masuk dua orang pria yang kemudian mengundang pasangannya untuk masuk.
Kedua pasangan ini kemudian bergerak berdansa bersama-sama dengan pria dan
wanita tadi. Sejenak kemudian lampu memudar.
*
Tiga
Ditengah pangung seorang pria berdiri diam
disorot tajam lampu. Pandangannya lurus kedepan. Bibirnya terkatup rapat,
dahinya agak berkerut. Wajahnya gelisah dan kecewa. Tangan kanannya berjuntai
lemas, memegang sebuah top, sedang tangan kirinya menggantung pada bahu
kanannya. Ia mengenakkan jaket hitam panjang yang basah menetes-netes. Tubuhnya
basah kuyup, rambutnya pun basah dan menetesi wajahnya. Dari kedua sisi
panggung, sosok-sosok dengan payung yang membuka dan berbaju hitam lalu lalang
dengan lambat dari kanan kekiri dan sebaliknya. Beberapa kali mereka lewat
sangat dekat dihadapnnya, namun seolah tak ada orang yang berdiri, mereka tak
memandangi pria itu. Beberapa kali pula ia mencoba menatap wajah sosok-sosok tadi,
namun mereka lewat dengan menundukan kepala. Beberapa kali ia membuka mulut
seolah hendak mengatakan sesuatu, namun suaranya tercekat di tenggorakannya.
Beberapa saat kemudian ia seperti putus asa dan menundukkan kepala. Dia
mengenakkan topinya. Pria itu mulai melangkah perlahan menuju ke samping kiri
panggung dan keluar. Sosok-sosok berpayung tetap berselewiran. Selang beberapa
saat, seorang wanita masuk dari sisi yang berbeda. Pakaiannya gaun hitam yang
basah pula. Rambutnya kusut basah. Ia menengok ke kanan dan kiri. Tangannya di
depan dada. Ia mencari-cari seseorang. Ia mulai bergerak mendekati sosok-sosok
tadi secara acak seakan hendak bertanya sesuatu, namun mereka tetap berjalan.
Ia bergerak adari satu sosok ke sosok lain dengan gelisah, dengan putus asa.
Akhirnya ia berhenti di bawah sorotan lampu tengah panggung dan jatuh tersimpuh
dengan wajah menunduk. Lampu memudar perlahan.
*
Empat
Panggung berangsur terang. Pada bagian belakang panggung empat sosok
berpasang-pasangan dengan baju hitam. Mereka seolah berada dalam dunia
sendiri-sendiri. Mereka tak bergerak dan tanpa suara, hanya mimik dan gestur,
yang menggambarkan pertengkaran dan amarah. Kemudian masuk sesosok dengan rias
dan cat hitam dan putih yang membelah tubuhnya secara vertikal ke panggung
bagian depan. Dia memerankan sebuah pertengkaran antara dua orang dengan
berganti-ganti karakter. Pada saat dia berada dalam satu karakter dia akan
menghadap pada sisi yang satu, dan ketika berpindah karakter ia akan menghadap
pada sisi yang lainnya. Pertengkaran ini semakin lama semakin memuncak dan
memuncak menjadi lebih beremosi dan cepat berganti-ganti karakter. Akhirnya, ia
histeris, menjambak rambut dan berlarian kesana-kemari lalu membanting-banting
tubuh dan terkapar dengan terengah-engah. Lampu memudar.
*
Lima
Lampu menyala. Dari sisi-sisi panggung masuk
sosok-sosok berpakaian hitam mereka bergerak lambat sambil melihat-lihat
sekeliling dengan pandangan kekiri-kanan seolah sedang melihat-lihat sesuatu.
Mereka bergerak kekiri-kekanan, zig-zag tak beraturan. Yang masuk dari sisi
kiri akan kemudian keluar dari sisi kanan, begitu sebaliknya, begitu
terus-menerus. Setelah beberapa saat, dari kiri masuk seorang pria berbaju
putih lusuh. Kemejanya setengah terbuka, setengah dimasukkan kedalan celana, setengah
keluar. Tampangnya lusuh pula dan menundukkan kepala. Tangannya menggantung
lemah. Ia berjalan lambat-lambat disela-sela sosok-sosok tadi, tanpa
memperhatikan arah berjalannya. ia seolah hanyut dalam aliran gerak sosok-sosok
itu. Ia kemudian tertatih-tatih menuju sisi kanan dan keluar. Kemudian dari
sisi kanan seorang wanita berganti masuk. Ia tampak lusuh pula. Rambutnya
terburai tak teratur menutupi wajahnya. Gaun yang di kenakannya pun kusut dan
kotor. Jalannya lambat dan tak bertenaga, juga hanyut di tengah gerak
sosok-sosok itu. Akhirnya ia keluar ke sisi kiri panggung. Selang beberapa
saat, mereka masuk bersamaan dari sisi-sisi yang berbeda. Mereka bergerak
perlahan dengan emosi dan gestur yang sama dengan pada saat masuk pertama.
Tepat ditengah panggung mereka berpapasan, tetapi tak saling memperhatikan dan
terus bergerak menuju sisi sebelah dan kembali keluar. Kemudian mereka kembali
masuk dengan gaya yang sama, kali ini di tengah panggung mereka bertemu dan
berhenti bersamaan. Ada jarak sekitar semeter diantara mereka. Kepala mereka
masih tertunduk. Seolah sedang memandang dari ujung kaki menuju ujung kepala
orang dihadapannya, perlahan-lahan kepala mereka diangkat. Mereka
berhadap-hadapan, berpandang-pandangan. Sorok mata keduanya dingin, tanpa
emosi. Ekspresi wajahnya pun dingin. Kemudian kening mereka mulai berkerut. Air
muka mereka mulai menampakkan entah kekecewaan entah amarah. Mereka saling
tatap mata beberapa saat. Akhirnya mereka kembali menunduk perlahan, dan mulai
bergerak tertatih menuju sisi panggung yang berlawanan dan keluar.
*
Enam
Lampu perlahan menyala. Ditengah panggung
seorang pria duduk sendirian di sebuah kursi kayu yang dibalikkan, depan
menghadap belakang. Wajahnya lusuh, lelah dan kecewa, kancing-kancing bajunya
terbuka. Sesekali ia menengadah dan mengusap wajahnya dengan kedua belah
tangannya. Matanya kadang melotot, kadang tertutup rapat. Sering kali desahan
napasnya naik turun. Dibagian belakang panggung masuk sepasang pria-wanita yang
sedang kemudian becengkrama, tangan mereka saling menggenggam. Mereka tersenyum
satu sama lain dan saling pandang dengan cinta. Dari jauh mereka telah saling
tatap dengan mesra. Mereka bertemu tepat ditengah-tengah. Kedua telapak tangan
mereka ditempelkan, mata mereka lekat satu-sama lain. Mereka kemudian
berpelukan dengan mesra dan mulai bergerak berdansa dengan lembut. Tiba-tiba
keduanya saling melepaskan diri, mengambil selangkah kebelakang. Keduanya
saling pandang dengan tatapan heran, kemudian kecewa. Keduanya menundukkan
kepala dan mulai melangkah keluar menuju sisi yang berbeda. Pria di kursi tadi
menunduk dalam. Tiba-tiba, seolah teringat sesuatu, ia mengangkat muka ke
depan. Pandangannya tajam, keningnya berkerut, bibirnya terkatup rapat.
Kemudian tangan kirinya bergerak perlahan, namun kaku, menuju ke pinggang
belakangnya. Dari sana tangannya mengeluarkan sebuah benda, sepucuk pistol. Ia
menatap pistol itu lekat-lekat, wajahnya tegang, matanya membelalak, alisnya
berkerut, bibirnya gemetar, tangannya gemetar. Pistol itu ditaruhnya di atas
kedua telapak tangannya. Beberapa saat, ia tampak ragu, matanya mengerling ke
kanan-kiri. Kemudian, dengan gerakan seketika tangan kanannya menggenggam
pistol itu dan langsung menempelkannya di dahi kanannya. Pandangannya lurus
kedepan, matanya membelalak tajam, bibirnya mengatup rapat, seluruh tubuhnya
bagai kejang, napasnya memburu. Tiba-tiba, ia berteriak histeris dengan
suaranya yang terkuat. Lampu mendadak padam.
*
Tujuh
Lampu menyala. Di tengah panggung seorang wanita bergaun hitam berdiri dengan
wajah tertunduk dalam, rambutnya terurai menutupi wajahnya. Tangannya menutupi
wajahnya. Ketika ia mengangkat wajahnya, tangannya dibiarkan jatuh
menggelantung. Wajahnya sedih, matanya berkaca-kaca, pipinya basah oleh air
mata. Di sampingnya ada sebuah meja dengan vas bunga berisikan bunga layu.
Wanita itu mulai bergerak kedepan, mendekati sisi depan panggung, dengan
pandang kedepan seraya terisak perlahan. Makin lama isaknya lebih keras dan
semakin menjadi-jadi. Tubuhnya lemah, pijakan kakinya goyah. Tangisnya meledak,
tubuhnya berguncang, nafasnya tak beraturan. Ia jatuh berlutut, mukanya
tertelungkup mencium lantai. Sekali lagi di bagian belakang panggung masuk
seorang pria dan seorang wanita. Dari jauh mereka telah saling tatap dengan
mesra. Mereka bertemu tepat ditengah-tengah. Kedua telapak tangan mereka
ditempelkan, mata mereka lekat satu-sama lain. Mereka kemudian berpelukan
dengan mesra dan mulai bergerak berdansa dengan lembut. Tiba-tiba keduanya
saling melepaskan diri, mengambil selangkah kebelakang. Keduanya saling pandang
dengan tatapan heran, kemudian kecewa. Keduanya menundukkan kepala dan mulai
melangkah keluar menuju sisi yang berbeda. Wanita yang sedang menangis tadi
tiba-tiba mengangkat kepala dengan sebuah tarikan napas yang menggema di
tenggorokannya. Pandangannya lurus kedepan dengan tatapan kosong. Ia mulai
berjalan perlahan ke arah meja. Gerak tubuhnya kaku. Di belakang meja ia
berhenti dan kembali memandang ke depan dengan pandangan kosong. Tangan
kanannya meraih sesuatu dari atas meja, sebuah belati yang berkilat-kilat.
Diangkatnya belati itu dan dipandanginya beberapa saat. Wajahnya tak berubah,
malah semakin dingin. Ia kembali mengarahkan mata kedepan. Sejenak ia
tersenyum, senyum indah, senyum penuh damai. Sorot matanya melembut. Tiba-tiba
ia memegang belati itu dengan kedua belah tangannya dan mengarahkannya ke
dadanya. Matanya menutup. Ia berteriak nyaring. Lampu mendadak padam.
*
Delapan
Lampu panggung berangsur menyala. Ditengah
panggung tertancap dua buah salib kecil dari kayu berwarna putih, tanda
kuburan. Keduanya menghadap ke
depan dan diletakkan sejajar bersandingan, berdekatan. Dari sisi-sisi panggung
masuk sosok-sosok berbaju hitam satu persatu bergerak mendekati kuburan. Mereka
mengelilingi kedua kubur dengan menundukkan kepala. Tangan mereka terlipat di
depan. Mereka berdiri mematung tanpa suara. Kemudian, dari depan, dari arah
belakang penonton, masuk sepasang pria-wanita berjalan bersama bersisian.
Tangan mereka bergandengan, mereka saling berpandangan dengan tatapan yang
mesra. Pakaian mereka indah dan putih. Mereka terus berjalan bergandeng tangan
menuju panggung. Mereka kemudian naik bersama-sama ke atas panggung. Di
panggung bagian depan mereka berdiri berhadapan, saling bertatapan mesra,
saling menggenggam tangan. Mereka kemudian saling mendekap erat, seolah tak
pernah bersua lama. Mereka kembali berpandangan. Pria itu menatap wanita di
depannya dan tersenyum seraya menganggukkan kepalanya, seolah minta
persetujuan, dan dibalas oleh anggukan serupa dari wanita itu. Dari kantongnya
pria itu mengeluarkan sebuah gumpalan kertas. Ia kemudian menguraikan kertas
itu sehingga menjadi selembar kertas dan mulai metapnya. Pria itu kemudian
memberikan kertas itu kepada wanita di depannya dan wanita itu menatap kertas
itu juga. Keduanya kemudian tersenyum. Kertas itu kemudian digumpalkan kembali
oleh pria itu ia meletakkan itu dengan perlahan di lantai. Keduanya kembali
berpegangan tangan. Mereka berdua kemudian melangkah menuju sisi kanan untuk
keluar panggung. Sosok-sosok hitam yang sedari tadi mematung mulai bergerak
pula. Mereka mulai bergerak menuju sisi sisi panggung yang berbeda untuk
kemudian keluar. Panggung sepi. Sesaat kemudian, dari sisi kiri panggung, masuk
seorang pria dengan langkah lambat. Ia berjalan menuju ke kedua kubur itu. Di
samping kuburan ia berhenti dan berdiri. Ia menatap kuburan itu dalam-dalam. Ia
menarik nafas panjang dan tertunduk. Tiba-tiba ia mengalihkan pandangannya
menuju ke gumpalan kertas tadi. Perlahan ia mulai berjalan menuju kertas itu
dan memungutnya. Sejenak ia mengamat-amati gumpalan itu sebelum menguraikannya.
Setelah kertasi itu telah membuka, ia menatapnya sejenak dan kemudian ia
mengalihkan pandangannya ke arah depan, pandangan itu tajam dan seolah hendak
memandangi setiap mata di hadapannya. Wajahnya tegang, bibirnya mengatup,
matanya memicing. Sejenak lagi ia menatap kertas di tangannya. Kemudian ia
kembali menatap tajam ke depan. Bibirnya bergetar dan berpuisi:
Jangan cucurkan airmatamu kelak
Kala ragaku tak lagi hangat dengan candatawa
Kala ranum senyumku tak lagi bergema di rongga hati
Kala belai nafasku tak lagi menyapa hari sepi
Jangan cucurkan airmatamu kelak
Kala citaku tlah lalu dihembus angin waktu
Kala buah penaku tinggal nyala kusam di ingatan
Kala kisah hidupku hanya dengung di malam buta
Kala cintaku terkubur beku dalam jasad kaku pilu
Karena tak bisa lagi kudongengkan
Kisah cinta dan kehidupan ke telingamu
Tak mampu lagi kutatap kagum
Sempurna karya indah dirimu
Tak mungkin lagi kurengkuh takjub
Lembut tubuh harummu
Tak sanggup lagi kunyatakan
Deru cinta didasar hati untukmu
Tangisi aku sekarang!
Saat hatiku haru biru karena cinta lekang dariku
Saat mentari harap pupus hampa dari anganku
Saat jari-jari sunyi mencekik kaku nafas jiwaku
Saat hitam kelam pandang mata khayalku
Menangislah bersamaku!
Balut lebam luka jiwaku dengan tangismu
Banjiri kosong lompong hati keringku dengan airmatamu
Puaskan dahaga rasa tubuhku dengan isakmu
Suburkan gersang taman cintaku dengan ratapmu
Karena airmata suci
Adalah bukti bijak dan tulus hati
Bukan sesal dan gundah dihari nanti
Jika jatuh menggerimis kala raga masih bersekutu nafas
Bukan saat nyawa tlah diregang pergi
Setelah membaca pandangannya melunak, wajahnya berubah sedih, pandangannya
menerawang kedepan. Ia kemudian menundukkan kepala. Kertas tadi kembali
diremasnya. Perlahan ia memasukkan gumpalan kertas itu ke kantong celananya dan
mulai melangkah lambat ke sisi kiri panggung dan keluar. Lampu memudar.
SELESAI
Komentar
Posting Komentar