Setan Bernama 'Perang': Novel "Slaughterhouse-Five" karya Kurt Vonnegut Jr.

"He was down in the meat locker on the night Dresden was destroyed. There were sounds like giant footsteps above. Those were sticks of high explosive bombs. The giants walked and walked... The Americans and four of their guards and a few dressed carcasses were down there, and nobody else. The rest of the guards had, before the raid began, gone to the comfort of their own homes in Dresden. They were all being killed with their families.
So it goes.
The girls Billy had seen naked were all being killed, too, in a much shallower shelter in another part of the stockyards.
So it goes.
A guard would go to the head of the stairs every so often to see what it was like outside, then would come down to whisper to other guards. There was a fire storm out there. Dresden was one big flame. The flame ate everything organic, everything that would burn... Absolutely everybody in the city was supposed to be dead" (hal.177-180).
Novel ini ditulis Vonnegut berdasarkan sebuah kejadian yang benar-benar pernah terjadi. Ini diperkuat dengan pernyataan di awal novel yang menyebutkan bahwa “semuanya ini benar-benar terjadi”. Walau kemudian dia memasukkan unsur-unsur yang juga benar-benar fiksi, tetap saja novel ini memuat serangkaian kejadian yang telah terekam dalam buku sejarah. Bahkan mungkin novel ini sebenarnya adalah buku sejarah yang di bumbui fiksi. “Nama-nama telah saya ganti” kata Vonnegut.
Penokohan mungkin dapat diganti, tetapi latar sama sekali tidak diubah Vonnegut. Perang ialah latar utama cerita ini. Sebuah keadaan kacau-balau, penuh kehancuran dan pembantaian yang disebabkan oleh konflik bersenjata antara dua kelompok (atau lebih) dalam masyarakat merupakan titik berangkat karya ini. Perang Dunia Kedua, sebuah perang yang oleh Vonnegut dikatakan sebagai “usaha bunuh diri peradaban manusia yang ke dua”, merupakan latar yang dipilihnya untuk novel ini.
Perang Dunia Kedua terjadi oleh banyak sebab. Beberapa di antaranya akibat beban-beban lama yang masih tersisa dari Perang Dunia Pertama yang ternyata masih membekas. Tetapi pemicu yang paling nyata ialah konflik-konflik kecil antar negara yang telah mengesampingkan tata krama dalam pergaulan antar negara, dan ketidakpedulian akan perdamaian. Ini disebabkan karena banyak pemimpin dari negara-negara tersebut ialah orang-orang yang tidak menghormati demokrasi, haus kekuasaan, berambisi teritorial dan cenderung diktator. Negara-negara yang besar dan kuat menyerang negara tetangganya yang lemah dengan sesuka hati.
Secara resmi, Perang Dunia Kedua dikatakan meletus pada saat seorang diktator berkebangsaan Jerman bernama Adolf Hitler menyerang negara tetangganya, Polandia, yang memiliki perjanjian bersama Inggris, Perancis, dan beberapa negara lain yang disebut Allied Nations atau Sekutu. Perjanjian ini menyebutkan bahwa jika Polandia diserang, kedua negara sahabatnya itu akan membantu. Ketika Inggris dan Perancis menyatakan perang melawan Jerman, seluruh Eropa kembali terlibat perang besar.
Di bagian lain bola bumi, pada tanggal 7 Desember 1941, sebuah pangkalan Amerika Serikat di kepulauan Hawaii yang bernama Pearl Harbor dibom pasukan Jepang yang ingin menguasai Asia. Amerika Serikat langsung mengangkat panji perangnya melawan Jepang. Karena Jepang juga memiliki perjanjian dengan Jerman dan Italia yang disebut Axis Treaty atau Perjanjian Negara Poros, maka Amerika Serikat dinyatakan sebagai musuh mereka. Maka terjadi sebuah perang hebat di bumi ini, perang Eropa di sebelah barat dan Perang Pasifik di timur.
Kekuatan “negara-negara jahat” memang luar biasa pada masa-masa awal perang. Jerman dengan cepat menguasai hampir seluruh Eropa dan bagian utara Afrika. Jepang menduduki hampir tiap sentimeter tanah Asia Pasifik. Tetapi, keadaan berubah seiring waktu. Negara-negara Poros dapat dipukul mundur. Di Perang Pasifik, Jepang mulai satu persatu menyerahkan tanah taklukannya dan mundur teratur. Di Perang Eropa, Jerman terdesak jauh mendekati wilayah perbatasan negaranya sendiri. Tetapi perang masih jauh dari usai. Sebuah serangan balik terakhir dilancarkan oleh Jerman secara tiba-tiba. Serangan yang disejarahkan dengan nama “Battle of Bulge” ini cukup mengejutkan sehingga pihak sekutu harus mundur kembali. Sayangnya, tak semua pasukan berhasil tertarik mundur. Sejumlah tentara Amerika Serikat terjebak di belakang garis musuh.
Hanya sebagian kecil serdadu yang dapat menyeberang kembali ke wilayah Sekutu serta bergabung dengan induk pasukannya. Sebahagian dari mereka tewas mencoba mempertahankan posisi. Sebagian besar kemudian tertawan dan dikirim ke wilayah negara Jerman untuk dipenjara di kamp-kamp sebagai tawanan perang atau dikerjapaksakan di pabrik-pabrik seperti yang dialami Vonnegut di kota Dresden. Kota ini sendiri adalah kota yang amat indah dan dipenuhi dengan peninggalan-peninggalan sejarah, museum, taman gedung opera dan bangunan-bangunan indah lain. Dresden dijuluki “Florence di Elbe” karena keindahannya. Kota ini dilindungi undang-undang internasional untuk tidak boleh dihancurkan. Jika menghadapi agresi, kota ini harus diserahkan oleh pihak yang kalah tanpa perlawanan. Hal yang sama juga diterapkan bagi kota Paris, Perancis. Kapasitas sebagai “open city” menyebabkan Dresden lolos dari rentetan pemboman Sekutu.
Tetapi pada 13 Februari 1945, Dresden dibom juga oleh Amerika dan Inggris. Pemboman ini merupakan bagian dari kampanye “Operation Thunderclap” yang salah satu maksudnya ialah untuk mempercepat akhir perang dengan cara meruntuhkan moral Jerman yang kemudian diharapkan akan membawa mereka lelah berperang dan mencari perdamaian. Pemboman yang memakan waktu sehari semalam ini melibatkan 1103 pesawat pembom dan lebih dari 3427 ton bom. Api membakar seluas 1600 hektar kota ini selama seminggu.
Penyebab mengapa korban jatuh begitu besar dalam pemboman ini ialah gabungan dari beberapa keadaan yang benar-benar tidak memihak Dresden. Pada saat itu Dresden tidak memiliki persenjataan alteleri untuk menangkis serangan udara, sementara pangkalan udara Jerman yang berada di sekitar tidak dapat memberikan bantuan disebabkan kurang tersedianya bahan bakar. Sialnya, cuaca yang biasanya begitu buruk menyelimuti Jerman, di malam pembantaian itu menjadi sangat cerah. Tetapi penyebab utama kelihatannya ialah ketidaksiapan kota ini untuk menerima serangan sebesar Operasi Thunderclap. Hanya ada satu bunker yang benar-benar memenuhi syarat sebagai perlindungan anti bom. Keadaan ini sangat ironis mengingat Dresden sedang dipenuhi pengungsi yang mengakibatkan penduduknya membengkak dari 630.000 menjadi lebih dari satu juta jiwa.
Dengan jumlah korban lebih dari 130.000, jauh melebihi jumlah korban bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, tragedi Dresden menjadi contoh kongkrit teror perang udara. Hal ini menjadi berita bagi pihak rakyat negara-negara sekutu sendiri yang menyatakan bahwa korban-korban perang terbesar di pihak negara-negara Poros justru bukan dari pihak militer melainkan dari rakyat biasa. Kejadian ini menjadi begitu mengerikan dan memalukan, sehingga media massa sempat diperingatkan oleh pihak sekutu untuk tidak memberitakan hal ini. Teror bom di Dresden sempat menjadi sebuah kejadian yang “Amat Rahasia” jauh sampai akhir tahun enampuluhan. Slaughterhouse-Five termasuk salah satu karya tertulis pertama yang membuka rahasia tragedi Dresden bagi publik pada tahun 1969.
Ketika diterbitkan pada tahun 1969, Slaughterhouse-Five merupakan novel yang diterbitkan pada masa-masa buruk tentang pengalaman pada masa-masa yang buruk pula. Ketika novel ini dalam masa penyelesaian tahun 1968, rakyat Amerika menyaksikan tokoh-tokoh besar mereka tewas terbunuh. Martin Luther King Jr., seorang pejuang persamaan hak Kulit Hitam tewas ditembak. Diikuti dengan tewasnya presiden mereka sendiri, J.F. Kennedy. Amerika juga sedang dilanda kerusuhan rasial besar yang menuntut persamaan hak hakiki antara Kulit Hitam dan Kulit Putih. Sebuah revolusi besar lainnya juga sedang melanda Amerika, yaitu revolusi para Generasi Muda yang menentang nilai-nilai lama yang dipercayai orang tua dan menentang penggunaan kekerasan dalam bentuk apapun. Salah satu ikon terbesar revolusi ini ialah membanjirnya setengah juta anak-anak muda Amerika di konser musik Woodstock yang kemudian menyebabkan gaya hidup “hippies” dengan seks bebasnya serta paham-paham pasifistik semacam “make love not war” menjadi begitu populer di kalangan anak muda. Teknologi umat manusia juga sedang dilanda sebuah perkembangan besar. Pada tahun-tahun sebelumnya, Amerika dan Rusia terlibat perlombaan dalam penaklukan angkasa luar dengan diluncurkannya sejumlah roket. Amerika kemudian mencatat sejarah ketika pada tahun 1969 Neil Amstrong berhasil menjejakkan kakinya di bulan.
Tetapi hal yang paling relevan bagi penerbitan sebuah novel yang “anti perang” pada masa itu, ialah bahwa Amerika, sang pengusung panji Kapitalisme, sedang terlibat dalam sebuah konfrontasi politis dengan sebuah kekuatan besar Komunisme di bawah komando Uni Soviet yang dikenal dengan “Perang Dingin”. Kedua negara adidaya ini terlibat perlombaan dominasi politis yang kemudian membawa mereka kepada perebutan wilayah secara tidak langsung. Sering kali konflik semacam ini berakhir dengan harus dibaginya sebuah wilayah kepada kedua kekuatan dengan paham yang berbeda. Contoh kongkritnya ialah pembagian Jerman Barat dan Jerman Timur, Korea Utara dan Korea Selatan. Yang paling kontekstual bagi masa terbitnya Slaughterhouse-Five ialah konflik Vietnam Utara yang disokong oleh Soviet, dengan Vietnam selatan yang dibantu Amerika. Konflik ini dikenal dengan Perang Vietnam. Pada saat itu, Amerika sedang menghadapi sebuah perlawanan besar dan memusingkan dari pihak komunis Vietnam Utara, yang melancarkan serangan pada posisi-posisi Amerika di seluruh Vietnam. Perlawanan yang disebut “Tet Offensive” ini menjadi titik balik yang nyata bagi perang ini. Walaupun di pihak Viet Cong jatuh banyak korban, perlawanan ini membuat Amerika lelah secara psikologis. Kurang lebih lima puluh ribu jiwa tentara Amerika menjadi korban pada akhirnya. Fakta-fakta tentang ini menghantam rakyat Amerika bersama dengan pemberitaan pembantaian rakyat sipil Vietnam di sebuah desa yang bernama Mai Lai. Kasus ini hanya sebagian kecil dari korban keseluruhan yang mencapai jutaan orang Vietnam. Ini disusul dengan terciptanya sebuah rekor di mana Amerika telah menjatuhkan bom di Vietnam lebih banyak dari yang telah dijatuhkan oleh seluruh kekuatan pada Perang Dunia Kedua. Slaughterhouse-Five yang notabene bercerita tentang tragedi pemboman Dresden, sedang ditulis dan siap terbit ketika Amerika sedang melaksanakan sebuah pemboman yang paling brutal sepanjang sejarah. Sebuah kebetulan yang ironis.
Walaupun Vonnegut sendiri menganggap ini sebagai karya yang “gagal”, Slaughterhouse-Five mendapatkan sukses dimana-mana dengan segera. Kepopuleran Vonnegut meroket bersama dengan “demam Vonnegut” yang melanda Amerika, terutama di kampus-kampus tempat aroma anti perang begitu tercium. Kritikus-kritikus literatur, bahkan yang belum pernah sebelumnya mengakui karya-karyanya, berlomba-lomba membedah karya-karya Vonnegut yang menyebabkan harus dicetaknya lagi novel-novel awalnya.
Sejak penerbitan perdananya, Slaughterhouse-Five telah mengokohkan diri sebagai karya Vonnegut yang paling besar dan paling kontroversial. Novel ini telah digunakan dalam ruangan kelas di seluruh Amerika, dan juga dilarang oleh dewan-dewan sekolah. Bahkan ada yang sampai menyita dan membakarnya. Vonnegut menanggapi ini sebagai sesuatu yang berlebihan dan “kelam”. Belum tentu, katanya, pihak-pihak yang membenci bukunya itu pernah membaca buku itu sampai habis atau bahkan pernah membaca buku apa saja sampai habis. Tetapi, pada saat yang memang tepat, Amerika telah mendapatkan seorang Ikon perdamaian baru: Kurt Vonnegut.

Dresden, after bombing..
Ironis sejak lahir, kata-kata ini cocok menggambarkan Vonnegut. Dia dilahirkan di Indianapolis, negara bagian Indiana, Amerika Serikat pada tanggal 11 November 1922, tepat pada Hari Angkatan Bersenjata (di Amerika, hari ini sekarang disebut Hari Veteran). Vonnegut ialah anak bungsu dari tiga bersaudara dari pasangan Kurt Vonnegut Sr. dengan Edith Lieber (nama Kurt diambil dari nama ayahnya). Kurt memiliki dua orang kakak yang bernama Bernard dan Alice. Kurt Vonnegut sendiri ialah generasi ketiga dari keturunan Jerman-Amerika. Nampaknya, dunia seni memang tidak jauh dari kehidupan keluarga tersebut. Ayah Vonnegut bekerja sebagai seorang arsitek, sedang ibunya ialah seorang ibu rumah tangga yang sering mengisi waktunya dengan menulis cerpen. Kakaknya, Alice, juga merupakan seorang pemahat.
Keluarga Vonnegut termasuk keluarga yang berada pada zamannya. Ini terbukti dengan bersekolahnya kedua kakak Vonnegut di sekolah khusus, yaitu sekolah swasta yang bukan hanya biayanya saja yang mahal, tetapi juga tidak sembarang orang dapat bersekolah di sana, kecuali anak dari keluarga yang berkelas. Tetapi, kemudian datanglah masa sulit dalam bidang ekonomi Amerika yang dikenal dengan The Great Depression. Keluarga Vonnegut kemudian cukup terpengaruh oleh krisis keuangan ini, bahkan ayah Vonnegut sampai tidak mendapatkan satupun pekerjaan arsitektur selama sebelas tahun.
Keuangan yang kurang memungkinkan, mengakibatkan Vonnegut harus bersekolah di sekolah umum, sesuatu yang disesalkan oleh ibunya. Tekad dan kata-kata janji bahwa kelak, bila keadaan ekonomi keluarga sudah membaik, Vonnegut juga akan disekolahkan di sekolah privat sering diucapkan ibunya. Ibu Vonnegut tampaknya sangat terpukul dengan terpuruknya ekonomi keluarga ini, yang menyebabkan mereka tidak dapat lagi bergaul dengan masyarakat kelas atas. Hal ini menimbulkan sebuah kekecewaan berlarut-larut yang akan membawanya mengambil keputusan untuk bunuh diri kemudian. Tetapi, pergaulan kelas atas bagi Vonnegut sendiri ini adalah sesuatu yang tidak penting, sebab dia mencintai sekolah umumnya itu. Dia mencintai teman-temannya yang orang-orang biasa. Meninggalkan mereka sama saja seperti meninggalkan segala-galanya. Tampaknya, akar kecintaannya terhadap pluralisme dan persamaan derajat yang tumbuh sejak muda menjadi dasar kuat akan adanya hal-hal semacam ini pada karya-karyanya nanti.
Salah satu hal positif lain yang diserapnya dari masa-masa pendidikan dasarnya ialah idealismenya tentang pasifisme, sebuah paham yang dia pegang teguh sampai kini dan selalu tersirat maupun tersurat dalam karya-karyanya bahkan sampai karyanya yang terbaru. Bagi Vonnegut, atmosfir kehidupan Amerika Serikat tahun tigapuluhan merupakan sebuah standar ideal sebuah negara yang cinta damai. Ketika masih duduk di kelas enam, Vonnegut diajarkan untuk merasa bangga bahwa Amerika Serikat hanya memiliki seratus ribu tentara, di saat mana Eropa memiliki lebih dari satu juta personil dan menghabiskan hampir seluruh belanja negaranya untuk senjata, tank dan kapal perang. Pada saat itu memang Amerika Serikat menerapkan politik tidak mencampuri urusan negara-negara lain, terutama Eropa bersama konflik-konfliknya.
Bersama-sama dengan tertanamnya pasifisme dalam diri Vonnegut, sekolah umum ini juga berhasil membawanya ke awal langkah karirnya menjadi seorang penulis. Ketika duduk di sekolah lanjutan atas, Vonnegut menjadi editor koran sekolahnya The Shortridge High School Echo. Di sini untuk pertama kali Vonnegut mendapatkan kesempatan untuk menulis bagi pembaca yang cukup banyak jumlahnya, yaitu teman-teman sekolahnya. Vonnegut kemudian menemukan bahwa menulis baginya merupakan sesuatu hal yang mudah bila dibandingkan dengan orang lain. Menulis baginya ialah kegiatan yang gampang dan menyenangkan. Kata-kata seperti “mengalir” saja dari pikirannya.
Tentang masa-masa bersekolahnya, Vonnegut pada satu kesempatan mengatakan bahwa Ia merasa mujur lahir dan besar di kotanya, Indianapolis. Kota ini memberikan pendidikan dasar dan lanjutan yang benar-benar kaya akan humanisme. Hal-hal ini tidak ditemukannya di Universitas. Salah satu hal yang sangat menyenangkan dengan Indianapolis menurut Vonnegut ialah sistem perpustakaan gratisnya yang begitu luas dan lengkap.
Setelah lulus sekolah, Vonnegut kuliah di Cornell University dan mengambil studi ilmu kimia. Dia memilih studi ini karena didesak ayahnya yang masih sedih karena tidak memiliki pekerjaaan selama Depresi Besar, sehingga menganjurkan anak-anaknya untuk berkarir di dunia yang “berguna”. Selain itu, Vonnegut memilih studi ini disebabkan karena pada tahun tigapuluhan ilmu kimia ialah semacam ilmu sihir. Siapa yang menguasai ilmu ini memiliki kuasa yang besar. Pada saat itu, hanya bangsa Jerman maju dalam ilmu kimia. Tetapi Vonnegut kemudian menemukan bahwa dia sedang mempelajari hal yang di luar minatnya. Nilai-nilai kuliahnya buruk.
Walau demikian, Vonnegut merasa beruntung telah mempelajari tehnologi dari pada mempelajari bahasa. Ini membuatnya tidak perlu disuruh untuk membaca atau menulis atau diihakimi tulisannya sebagai tulisan yang baik atau buruk sebagaimana jika dia mengambil studi sastra. Selain itu, Vonnegut kembali memperoleh kesuksesan di luar kegiatan akademisnya dengan bekerja di koran universitasnya, Cornell Daily Sun. Pada tahun pertama, Vonnegut sudah mengasuh rubrik “Innocents Abroad”, sebuah kolom yang memuat cerita-cerita lucu dari berbagai sumber luar negeri. Kemudian dia dipercayakan mengasuh kolom baru yang dinamakannya “Well All Right”, tempat dia banyak menulis tulisan-tulisan pasifisnya. Menjadi penulis di koran menurut Vonnegut, adalah hal yang paling menyenangkan dari masa kuliahnya di Cornell. Pecahnya Perang Dunia Kedua mengakibatkan Vonnegut harus melupakan kesenangannya menulis untuk sementara waktu. Ia masuk wajib militer dan kemudian ditransfer ke Carniage Institute of Technology untuk belajar ilmu mekanika.
Sebagai seorang yang selalu menekankan pasifisme dalam karya-karyanya, banyak yang heran akan keputusannya untuk bergabung dengan militer pada saat itu. Menurut Kurt, pacifismenya ialah sesuatu yang kurang-lebih ambivalen. Jika ditanya siapa orang yang paling dikaguminya dalam sejarah jawabnya ialah Joshua Chamberlain, seorang pahlawan Perang Sipil Amerika.
Vonnegut menerima pendidikan militernya di sebuah kamp di pinggiran Indianapolis, yaitu Atterbury Camp. Pada masa pelatihan ini ia mulai bersahabat dengan Bernard O’Hare, yang kemudian menjadi sahabatnya dalam perang dan berperan cukup besar dalam penciptaan novel Slaughterhouse-Five kemudian. Pada masa pendidikan militernya inilah, tepatnya pada Hari Ibu tahun 1944, ibunya bunuh diri.
Walaupun menerima pelatihan Alteleri, yaitu sebagai penembak senapan howitzer 240 milimeter, Vonnegut akhirnya ditugaskan sebagai seorang “Battalion Scout”, yaitu semacam seorang intel pada pasukannya, Divisi Infantri ke-106. Vonnegut diterjunkan ke Eropa beberapa waktu sebelum Jerman mengadakan serangan ofensifnya yang terakhir, Battle of Bulge. Lewat surat yang dikirimkan Vonnegut kepada ayahnya, ia menulis “Bayonet ternyata tidak terlalu bermanfaat ketika melawan tank”. Vonnegut kemudian kehilangan kontak dengan induk pasukannya dan terkatung-katung di Luxemburg selama kurang lebih delapan hari sebelum ditawan oleh musuh. Dia dan sekitar seratus tawanan perang kebangsaan Amerika lainnya kemudian dikirim ke Dresden dalam gerbong kereta api. Di kota yang menurutnya sangat indah ini, Vonnegut harus kerja paksa pada sebuah pabrik vitamin. Dresden ialah salah satu dari sebagian kecil kota di Eropa yang belum terjamah perang karena merupakan sebuah kota yang tak memiliki konsentrasi personil militer, tanpa industri militer, tanpa target militer. Kota ini hanya dipenuhi bangunan-bangunan antik, museum, taman, rumah opera, dan tempat-tempat indah lainnya. Di bawah hukum internasional, Dresden dikategorikan sebagai “open city” yang tidak untuk diserang. Memang, kota ini terlepas dari pemboman pihak Sekutu. Pesawat-pesawat pembom selalu melewatinya.
Namun pada malam tanggal 13 Februari 1945 pesawat-pesawat itu tidak hanya lewat lagi. Gabungan angkatan udara Amerika Serikat dan Inggris menjatuhkan bom-bom berkekuatan tinggi, yang dengan cepat mulai membakar kota. Dresden ditelan badai api yang pertama-tama menghanguskan segalanya sebelum kemudian mengkonsumsi seluruh oksigen yang tersedia. Vonnegut dan tawanan lainnya berlindung dalam sebuah penyimpanan daging, beberapa tingkat di bawah tanah sebuah rumah jagal hewan. Ketika mereka keluar, Dresden sudah lenyap. Sebuah kejahatan kemanusian yang terbesar dalam sejarah manusia telah terjadi. Sebuah pembantaian terkejam, kata Vonnegut. Sekali tebas, 135.000 orang menemui ajal sebelum pagi tiba.
Ketika ditanya jauh hari kemudian tentang Dresden, Vonnegut menggambarkan: “Kami ditugaskan mencari korban-korban dalam reruntuhan. Ada yang hangus terbakar, remuk tertimpa bangunan atau tercekik kehabisan oksigen. Mayat-mayat wanita, pria, anak-anak dan orang tua, diangkut ke tengah kota untuk diperabukan dalam api unggun raksasa. Sementara itu kami dilempari batu dan dimaki-maki oleh orang-orang yang kami lewati”.
Setelah “V-E Day”, hari kemenangan sekutu di Eropa, Vonnegut diselamatkan tentara Rusia dan dipulangkan ke Amerika. Ia menerima bintang Purple Heart atas jasa-jasanya. Vonnegut kemudian menikahi Jane Marie Cox pada 1 September 1945 dan pindah ke Chicago tempat ia kembali ke bangku kuliah, dan mendalami ilmu antropologi, di Universirty of Chicago. Di samping kuliah, Vonnegut bekerja sebagai reporter paruh-waktu pada Chicago City News Bureau. Mungkin karena memang kurang cocok dengan pendidikan formal, tesisnya kemudian ditolak oleh dewan penguji universitas. Jauh dikemudian hari, dewan yang sama akhirnya memberikan gelar itu kepada Vonnegut setelah ia menunjukkan karya tulis yang baru yaitu novelnya yang berjudul Cat’s Cradle. Vonnegut kemudian menghidupi keluarganya dengan berganti-ganti pekerjaan. Ia pernah menjadi sukarelawan pemadam kebakaran di Aplaus, pegawai hubungan masyarakat di General Electric, New York, bekerja sebagai guru bahasa, menjadi desainer sebuah pahatan patung besi, bahkan membuka dealer mobil bermerek Saab sebelum mulai menulis secara profesional.
Karir kepengarangan profesional Kurt Vonnegut diawali pada 11 Februari 1950, dimulai dengan dimuatnya sebuah cerita pendek yang berjudul “Report on the Barnhouse Effect” dalam majalah Collier’s. Vonnegut menerima upah $750 untuk cerpen tersebut. Merasa yakin akan karir barunya ini, Vonnegut kemudian berhenti bekerja di General Electric dan pindah ke Cape Cod dan mulai menulis secara profesional. Ia menyurati ayahnya dan berkata “Kelihatannya saya segera akan sukses...”.
Pada tahun limapuluhan Vonnegut menulis cerita-cerita pendek yang dimuat dalam majalah-majalah yang terkenal pada waktu itu. Menurutnya, kemahirannya menulis cerpen dipelajarinya dari membaca buku penuntun bagaimana menulis untuk majalah. Vonnegut mengetahui bagaimana mengkomposisikan sebuah karya agar karya tersebut laku dijual. Itu terbukti kemudian, dia berhasil menjual lebih dari seratus cerpen pada majalah-majalah itu. Dua novel, Player Piano dan Sirens of Titan, juga lahir pada periode ini. Novel-novel awalnya ini masih kurang menarik perhatian pembaca, tetapi bukan karena kurang bagus, melainkan karena pembaca dan juga kritikus masih menganggap karya-karyanya “modis” dan hanya berisi fiksi ilmiah, bukan termasuk karya yang patut diapresiasi secara sastra. Vonnegut juga mulai bereksperimen dengan menulis lakon dan lahirlah Something Borrowed, karya dramanya yang pertama.
Tahun enampuluhan merupakan masa-masa metamorfosis Vonnegut menjadi seorang penulis yang matang dan diakui. Dimulai dengan melanjutkan minatnya pada penulisan drama yang menghasilkan naskah Penelope dan What I Am This Time?. Selain itu, sebuah antologi cerpennya yang pertama, Canary in a Cathouse, juga dicetak. Pada masa inilah Vonnegut mulai berevolusi. Salah satu perkembangan yang terjadi pada Vonnegut, yang menyebabkan Ia mulai dikenal sebagai seorang penulis yang harus diperhitungkan, ialah ketika dia mulai menyempurnakan gaya menulisnya yang berkembang kemudian menjadi semacam merek dagangnya yaitu “Black humor” (komedi kelam), fiksi fantasi, protes sosial dan, yang paling berciri Vonnegut, yaitu gaya autobiografi.
Novel Mother Night dan Cat’s Cradle diterbitkan pada 1961 dan 1963. Kedua karya ini membawa Vonnegut ke puncak pengakuan publik terhadap kepengarangannya. Mother Night mempopulerkannya di kalangan orang muda dan mahasiswa di kampus-kampus seluruh Amerika, sedangkan Cat’s Cradle mendapat pengakuan sebagai salah satu karya terbaik masa itu oleh beberapa penulis dan kritikus. Dua lakon Vonnegut dihasilkan kemudian, EPICAC dan My Name Is Everyone, diproduksi di Cape Cod. Pada 1965 terbit novel God Bless You, Mr. Rosewater yang diikuti dengan pencetakan kembali karya-karya sebelumnya pada 1966. Vonnegut kembali menerbitkan kumpulan cerpen pada 1968 yang dijuduli Welcome to the Monkeyhouse. Novel terbaiknya, Slaughterhouse-Five, terbit pada Maret 1969.
Tahun tujuhpuluhan kembali dimulai Vonnegut dengan keterlibatannya dalam dunia lakon. Naskah Penelope direvisi dan diberi judul baru, Happy Birthday, Wanda June. Pada tahun 1971 Vonnegut bahkan melangkah lebih jauh. Karyanya Between Time and Timbuktu: A Space Fantasy serta Slaughterhouse-Five difilmkan. Masa ini juga diisi dengan terbitnya novel Wampeters, Foma & Granfaloons dan Slapstick.
Vonnegut masih produktif menulis sampai saat ini, sesuatu yang sering digambarkannya sebagai kemalangan. Umumnya seorang profesional pensiun pada usia lima puluhan, katanya. Namun sampai pada masa tuapun ia merasa masih harus menulis terus. Novel novel Bluebeard, Hocus Pocus, dan Fates Worse Than Death lahir pada tahun delapan puluhan dan sembilan puluhan. Karyanya yang paling baru bertahun 1997 dan ditajuk Timequake.//
"He came slightly unstuck in time, saw the movie backwards, then forwards again. It was a movie about American bombers in the Second World War and the gallant men who flew them. Seen backwards by Billy, the story went like this:
American planes, full of holes and wounded men and corpses took off backwards from an airfield in England. Over France, a few German fighter planes flew at then backwards, sucked bullets and shell fragments from some of the planes and crewmen. They did the same for the wrecked American bombers on the ground, and those planes flew up backwards to join the formation.
The formation flew backwards over a German city that was in flames. The bombers opened their bomb bay doors, excreted a miraculous magnetism which shrunk the fires, gathers then into cylindrical steel containers, and lifted the containers into the bellies of the planes. The containers were stored neatly in racks. The German below had miraculous devices of their own, which were long steel tubes. They used them to suck more fragments from the crewmen and the planes. But there were still a few wounded American, though, and some of the bombers were in bad repair. Over France, though, German fighters came up again, made everything and everybody as good as new.
When the bombers got back to their base, the steel cylinders were taken from the racks and shipped back to the United States of America, where factories were operating night and day, dismantling the cylinders, separating the dangerous contents into minerals. Touchingly, it was mainly women who did this work. The minerals were then shipped to specialists in remote areas. It was their business to put them into the ground, to hide them so cleverly, so they would never hurt anybody ever again.
The American fliers turned in their uniforms, became high school kids. And Hitler turned into a baby, Billy Pilgrim supposed. That wasn’t in the movie. Billy was extrapolating. Everybody turned into a baby, and all humanity, without exception, conspired biologically to produce two perfect people named Adam and Eve, he supposed" (hal 73-75).

Dresden, after bombing..
by Greenhill.G Weol
Komentar
Posting Komentar