ANAK PENJAGA KANA: Dalam Surat Untuk Presiden

“Hal paling indah adalah kehidupan!” Apakah kau ingin aku memulainya dari kata-kata itu? Ataukah, dari hal-hal yang lebih jujur, lebih natural. Ini abad 21, tentu kau punya cita-cita dan mimpi. Sesungguhnya aku mau bertanya ‘mau dibawa ke mana negeri ini’. Tapi aku memilih menjadi manusia ironi. Aku tak mungkin lagi mengemas kebenaran dalam otakku sendiri ketika pergi keluar rumah atau saat menulis surat seperti ini. Sesungguhnya aku khawatir ketika kebenaran harus dilahirkan dari sebuah kesepakatan. Sebab dengan begitu tak ada lagi kebenaran aksiomatis. Tapi sudahlah. Tentang hobi, kita berdua sama-sama suka menyanyi, tapi, aku tak punya album seperti Tuan. Persoalannya bukan karena suaraku lebih jelek dari Tuan, hanya saja aku tak punya uang lebih, seperti tuan lakukan untuk mengongkosi produksi. Di situ letak perbedaannya. Selalu ada perbedaan antara yang di bawah dan yang di atas, yang memberi kuasa dan yang menjalankan kuasa. Perbedaannya tentu tak sekadar soal ekonomi, strata sosial, tapi juga emosi.
Kembali ke hal muasal hidup berbangsa bernegara, aku merasa segala sesuatu kian tak dapat diprediksi. Harga-harga tak terkendali, tak ada lagi analisa daya beli. Hal yang pasti belakangan ini hanya kematian. Kematian menjadi begitu murah. Berapa harga kaum miskin kau pikir?
Pekan kedua Januari 2014 banjir bandang menerjang Manado. Ini bencana alam terbesar dalam sejarah kota ini 50 tahun terakhir. Adakah orang-orang dan para ahli bicara lebih sungguh-sungguh tentang politik ekologi lintas kota dan provinsi, karena banjir tak mengenal batas-batas administrasi. Adakah suara-suara yang mau mengatakan perlu adanya pertobatan ekologis?
“Tapi bukan itu yang akan kuceritakan padamu. Ini cuma tentang nasib seorang anak kecil yang hidup di lingkungan pesisir yang miskin.”
Baiklah untukmu aku lebih ingin memulai dari beberapa larik puisi yang iseng kutulis berikut ini:

ketika alam tak lagi merupakan alam
di manamana hutan, hutan tak ada
di manamana bencana, air mata tak nyata

pikiranpikiran mempabrikkan angin
cuaca mengecubung hingga liangliang rahim

kecemasan mencekung
dupadupa berbaris menuju makam yang murung

ada yang memaksa berani
kepengecutan lebih lihai lagi

ketika perahu tak lagi merupakan perahu
semua laut akan pasang, jalan tak ada
di manamana banjir, duka tak berharga

hewanhewan yang limbung memanggil nuh
merpatimerpati dirindu terjerat pintu

tanahtanah hilang
katakata beku di parit para hantu

ada tembok pada sisisisi senyum
menimbun kini lebih pulas dari kubur

Tuhan…
aku bermimpi ingin hidup!

Kau pasti memahami puisi ini Tuan. Setiap orang selalu mengimpikan hidup. Ternyata hidup tak mudah. Selalu ada orang lain yang menginginkan yang lainnya terbunuh agar dia hidup. Huh. Baiklah, untuk menghemat waktu, aku mulai saja kisah ini dari kurum tahun 1980-an. Dan aku memulainya dari dialog ringan antara seorang cucu dan Omanya:
“Arus takkan pernah berhenti!”
“Perahu kertasku ke mana sampainya?”
“Berdoalah agar ia tiba di tepi langit!”
“Akan kubuat perahu lebih besar lagi, biar bisa memuat suratku pada Tuhan!”
Oma Dista merangkul cucunya. Matanya bersih bagai bui. Langit yang labil menyelesupkan gumam-guman tak terpermanai. Sebongkah haru menetas di tepi bola matanya menjadi air, merembes ke pipinya yang sepuh. Labih dalam lagi, ada yang mendenyar di hati keduanya. Seperti carang-carang bunga leli. Seperti prisma membagi cahaya menjadi pletikkan warna-warni di batang-batang sanubari.
“Apa yang ingin kau sampaikan pada Tuhan?”
“Aku minta agar Tuhan menjaga bedeng milik Oma tak dihanyutkan banjir,” kata Blengko.
Blengko kemudian berlari dengan riang di atas jazirah pasir. Gerisik-gerisik pasir yang tempias dari kaki menakutkan siput-siput. Mereka menarik capitnya jauh ke dalam cangkang, dan menggeletak bagai kerikil. Di atas, di langit, burung-burung camar ramai menapis bau garam yang diuarkan laut Fasifik. Burung-burung madu di cabang dan rerating Randu mencericit. Meningkahi desis angin utara yang meliuk dari cerocok batu gamping di tanjung Pisok. Ada kapal dan perahu lewat dengan cepat dan sabar, tapi tak lama akan melabuh di Bandar Manado. Selalu begitu pemandangan setiap hari. Ada yang samar, ada yang memar, dan yang sama memar itu ada seperti adanya. Ada yang datang dan pergi di garis perlitasan teluk itu. Deram mesim yang sayup, kemegahan pantai yang selalu punya waktu menisik sunyi ke bilik hati.
“Itu seperti dinosaurus yang tidur,” kata Blengko pada Oma Dista. Telunjuknya yang kecil menunjuk pulau Manado Tua. Pulau dengan kisah kerajaan lama seumur Majapahit dan Kutai Kartanegara.
“Yang sana seperti kura-kura,” tunjuk Oma Dista ke arah pulau Bunaken. Pulau yang disebut-sebut surga terumbu karang dan biota laut yang kaya ragam.
“Mama dan papa mungkin telah menjelma sepasang duyung.”
“Bisa jadi mereka sepasang lumba-lumba!”
“Aku tak suka mereka menjelma hiu.”
“Mereka telah menemukan negeri yang indah, di sana, di kedalaman laut itu. Kematian terindah anak-anak laut adalah tenggelam,” desis Oma Dista. Blengko menyeringai. Ia tak paham. Wajah Oma Dista mengerut bagai kain lampin. “Yesus…Yesus, jangan biarkan kami sendiri,” desis wanita tua itu.
Rumput-rumput tapak kuda yang menjalari pasir menangkap denyar terakhir sinar matahari yang lesap ke air. Beberapa pemancing berdiri di atas bekas steleng serdadu Jepang, lalu melempar tali pancing lebih jauh ke depan. Lainnya memilih menggunakan perahu Londe, mengail di dekat buih di ujung jorokkan pipa pemuatan dari pabrik minyak kelapa milik juragan Cina Ko Bun Pae.
Di ufuk barat senja telah tiba pada cahaya terletihnya. Matahari melingsir seperti hati pertapa yang kian dingin. Mulai terendam, dan bisu. Perahu-perahu nelayan melaju menjauh dari bibir pasir. Angin darat berhembus mengisi bidang-bidang kain di tiang pacak layar perahu nelayan.
Oma Dista memandang Blengko masih saja mengumpulkan beberapa petongan kayu dan ranting yang terdampar di pantai itu. Di hati Oma, ia sangat berharap cucunya akan jadi nelayan yang tangguh di suatu hari di pantai ini. Hanya harapan itu yang bisa Oma bayangkan bagi cucunya. Tak ada mimpi yang lebih tinggi dari itu. Kemiskinan telah membuat mereka tak bisa bermimpi terlalu jauh.
Di pantai ini, di tempat dimana agama-agama telah ranum dalam lebih empat abad, dan tradisi paling atavis mengalami alkulturasi, ternyata, perubahan tak mampu menepis kecemasan yang ikut tumbuh seiring sejarah. Selalu saja ada musuh tiba di sebuah pagi. Bendera-bendera asing yang datang seiring kabut, dan angin-angin kencang yang memisahkan musim-musim.
Apa yang dapat ditakik dari pasang, surut, teduh dan kabut? Ombak di pantai ini abadi. Seperti burung-burung camar dan belibis tak gentar pada maut. Perahu yang melarung. Siulan nelayan menempur gigil malam. Teriakan-teriakan parau di waktu subuh. Semua itu membebat takdir pesisir. Jejak-jejak selalu hilang di waktu pasang, dibekaskan lagi di saat surut. Terus berganti, pupus dan hanyut. Hilang dan mati.
Barangkali, pantai-pantai ini tak lebih reruntuk lanskap kaum senasib pasir. Itu hanya sebuah metaphor. Mereka mau menafsir sambil memandang batas antara langit dan air. Tapi badai mengabar kegelisahan dan rasa sakit yang lain. Rasa sakit barangkali abadi di sini.
Dua ikat kayu bakar dibawa pulang hari itu. Cukup untuk persediaan memasak dua tiga hari. Pada hari berikutnya Blengko selalu meluangkan waktu mencari cadangan kayu bakar, agar Omanya tak perlu repot menemaninya ke pantai mencari kayu-kayu. Tapi Oma selalu suka menemani Blengko ke pantai. Oma seakan tak ingin jauh dari Blengko. Tinggal Blengko satu-satunya yang ia miliki di ujung hidupnya yang kian rentah itu.
***
“Hai! Pada pengantar awal ini tentu kau menikmati panoramik pesisir Manado yang indah. Kau juga merasakan kecemasan dalam percakapan dua orang anak manusia. Dua generasi yang letih membijaksanai hidup. Kemiskinan seakan warisan abadi yang harus diterima dengan kebesaran hati.” Apakah memang harus begitu.
Aku tentu tak mau lagi melontarkan pertanyaan basi “apa arti kemerdekaan”. Selain definisi kemerdekaan selalu sulit dirumuskan. Karena bisa saja kemerdekaan adalah kemenangan sebuah kelompok kepentingan. Ah…bukan. Aku tak akan membahas itu. Tapi beberapa pekan lalu ketika aku mampir di sebuah rumah kopi di kawasan Mall, aku tiba tiba menulis bait-bait puisi berikut ini:
ketika mobilmobil menyerbu bagai lebah
pejalan kaki menyingkir menyelamatkan nafasnya
dari sesak kota yang tak lagi menghitung
langkahlangkah manusia

bebatu, para pemancing membuang beribu detik ke laut
tak lagi ingin menakar ramburambu tumbuh
dalam hasrat dan kemustahilan diriuh gejolak orangorang
bergerak tanpa kata, tanpa arti, di bawah bayangbayang dunia
semua taklid pada pemandangan asing ditakjubkan itu
lampulampu berderet surupa alis abad menawarkan iklan
kepada wajahwajah ketakutan menyusuri boulevard
dengan etalaseetalase sihirnya

beberapa anak peminta menengok dengan bingung
seolah merasa telah berjalan di berbagai tempat di muka bumi
tapi tak menemukan rumah mengajaknya berbaring

orangorang berseragam adalah para profesional salesman
akan berkumpul di sebuah kedai menyerup kopi
mentertawai diri selalu kalah membagi waktu
antara untung dan mati

di senja ini apakah masih ada yang menyadari
bagaimana sebuah pena akan menjadi menakutkan
di tangan para pengambil keputusan
serupa senapang terkokang persis di jidat
kaumkaum yang selalu dienyahkan

ada getar hebat pada kerumunan
tibatiba jadi gelanggang adu cepat itu
semua melesat mengabaikan senja
begitu sabar membaringkan hari

“Nah. Tentu kau merasakan suasana yang begitu sumpek penuh sarkasme dalam puisiku itu. Tapi, kita kembali saja kekisah awal Tuan, biar kau lebih mengikuti alurnya.” Begini:
Blengko Dodorobe, anak lelaki yang selalu mengikat rambut keritingnya dengan seutas tali dari jerami. Ia tentu hafal betul bau menyengat dan sepat menguar dari Soma. Laiknya keakrabannya dengan bau anyir dan asin. Atau hafalan sederhananya tentang ritus pergerakkan rasi bintang yang membentuk kolase-kolase cahaya di negeri tinggi tak terjangkau, yang selalu dipandanginya di malam-malam yang dialiri sengat dingin.
Ia masanai Soma. Ia akrab dengan semua itu. Pengetahuan yang didapatnya dari buku alam dalam keseharian yang dilaluinya setiap waktu.
Sudah setahun ia bekerja di usahan pukat dampar. Orang pesisir Manado menyebutnya Soma. Pukat dampar di sini milik juragan-juragan pribumi serta orang-orang keturunan Spanyol Portugis yang sudah lama menetap membangun kampung-kampung Borgo di tepi pesisir. Orang-orang Eropa itu datang sudah sejak pertengahan abad 16 dengan perahu-perahu layar tiang tinggi. Beberapa dari pelaut asing itu mengawini wanita-wanita pribumi dan mereka tak lagi kembali ke Eropa. Mereka menjadi etnik Borgo dengan pigmen kulit putih sewarna susu. Postur lelakinya tinggi tegap, bertulang besar dan tampan. Perempuannya cantik bagai sosok-sosok boneka putri dan peri dalam kisah-kisah dongeng. Orang-orang Sangir yang berkulit Sawo datang pada masa lebih tua juga mempunyai beberapa usaha jaring semacam.
Pada masa-masa tua itu, di pesisir ini manusia harus bertempur dengan Kera dan Yaki berampasan ruang huni. Begitu ceritanya. Tapi binatang dan hutan selalu kalah pada munusia. Kampung-kampung pesisir berdiri, penghuni-penghuni alami kian jauh tersingkir.
“Hari ini kita hanya punya ubi.”
“Ubi dan nasi bedanya hanya bentuk Oma. Kan rasanya nyaris-nyaris sama saja.”
Oma Dista tersenyum gembira. Dengan lahap Blengko menyantap makanan yang disajikan Omanya. Ketela rebus, ikan Tandipang goreng, dabu-dabu Bakasang, dan daun papaya rebus.
“Ketika Opamu masih hidup, setiap akhir pekan begini pasti ada ayam rica atau ayam goreng,” kata Oma Dista mengenang.
“Itu jaman Belanda ya Oma?”
“Jaman Jepang juga!”
“Jaman Permesta makan ayam juga?”
“Wah itu susah sekali. Semua orang di penyingkiran.”
“ayam-ayam Oma?”
“Ditingkalkan. Semua orang lari ke hutan.”
“Kalau begitu kita harus sering makan ayam, kan sekarang jaman merdeka.”
“Iya. Tapi, nanti tahun baru saja Oma potong satu ekor khusus untumu.”
“Itu kan setahun sekali namanya Oma!”
“Oma pelihara ayam untuk jaga-jaga, agar di waktu sulit kita masih punya ayam untuk dijual. Tidak makan ayam tidak apa-apa, asalkan jangan kita kehabisan beras.”
“Malam ini kita makan Ubi.”
“Besok kau jual dua ekor ayam, lalu beli beras ya.”
Blengko ternyum. “Berarti besok kita makan nasi ya Oma?” Oma mengangguk.
Oma Dista amat menyayangi Blengko cucunya. Di ujung-ujung penatnya ia selalu punya waktu mengisahkan berbagai cerita dan dongeng-dongeng yang menakjubkan. Dari cerita pasukan kera yang menyerang manusia, pelaut-pelaut Eropa berpakaian gagah. Para opsir tentara dengan epaulet di bahunya. Serta kisah-kisah mambang yang menghuni laut.
Blengko bekerja sebagai penjaga lampu Kana di soma milik Om Podung. Blengko cucu satu-satunya. ia anak dari anak Oma Dista yang selamat melewati masa-masa pertempuran perang Permesta. Ayah Blengko 5 bersaudara. Dua perempuan, tiga laki-laki. Sebagai bungsu yang masih dalam gendongan, Bert ayah Blengko berhasil dilarikan Oma Dista ke hutan daerah Bantik di sebelah Utara saat pesisir Manado Utara menjadi pusat pertempuran pasukan Permesta dan tentara pusat tanggal 26 Juni 1958. Opa Uga dan 4 putranya yang lain terjebak, dan tewas.
Dalam perang saudara yang bergolak antara tahun 1958 hingga1961 itu sedikitnya 10.150 nyawa melayang di pihak RI, dan 22.174 di pihak PRRI/Permesta, 394 desa musnah dibakar, puluhan ibukota kecamatan dan satu ibukota kabupaten juga musnah dibakar.
Pada masa damai, saat Bert dewasa, ia menikah dengan Dina, seorang gadis dari pulau Manado Tua. Ketika Blengko berusia 2, kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan laut. Perahu mereka diterjang badai sekembalinya dari Manado Tua. Sejak itu, Blengko dipelihara Oma Dista. Rumah gubuk mereka di pinggir kali yang membelah kampung Bitung Karangria.
Setiap beberapa ratus meter di depan perkampungan tepi pantai itu, daseng-daseng berdiri sebagai rumah soma. Ada 3 soma di Karangria dan 2 soma di Sindulang. Setiap soma mempekerjakan sekitar 20 sampai 30 orang dewasa dan beberapa anak-anak sebagai masanai. Pada saat Soma didamparkan jumlah pekerja akan bertambah dengan para pekerja lepas yang disebut para Manginsomar yang membantu menarik tali lasau hingga soma bisa terseret ke tempat yang lebih dangkal. Jumlah manginsomar bisa sampai 10 orang dewasa dan beberapa anak-anak.
Pada siang hari, di sana, di daseng-daseng soma para masanai memperbaiki rajutan soma yang sobek, atau mencabuti rumput-rumput neptunus yang terkait di celah-celah jaring. Tapi sesungguhnya mereka lebih banyak mengaso menunggu waktu melarung pada malam hari. Mereka tidur-tiduran di bale-bale sambil sesekali melihat keadaan laut jangan-jangan ada tanda dari camar-camar dan elang laut yang mengabar adanya gerombolan ikan sedang mendidih.
Bila burung-burung menjadi ramai di udara, dan permukaan laut berkecamuk dipenuhi riak-riak dan bui-bui putih, itu tandanya ada gerombolan ikan palagis jenis Tude dan Oci melintas. Para masanai dengan cepat menurunkan perahu soma memburu kumpulan ikan. Peristiwa semacam itu memang jarang-jarang terjadi di siang hari, tapi bila soma berhasil mengepung ikan-ikan itu, maka pemimpin masanai akan meneriakan; “Pasang Belo!”. Itu artinya hasilnya tangkapan mencapai puluhan perahu pamo atau ratusan ribu ekor, jadi tidak bisa sekali diangkat. Para masanai harus memasang tiang-tiang belo dari kayu ting dalam air sebatas dada dalam bentuk melingkar tempat soma dikaitkan dan diikat membentuk pagar. Ikan-ikan yang terkurung itu kemudian diangkat secara bertahap dengan sibu-sibu dalam beberapa hari.
Bila soma berhasil pasang belo, maka pada pekan itu akan dicari hari baik untuk menggelar pesta syukur atas hasil tangkapan. Pesta syukur digelar sehari semalam dengan keramaian tari tradisi seperti Cakalele di senja hari diiringi tambur yang dipukul rancak. Pada malam hari, tari-tari peninggalan Eropa seperti Katrili dan Volka akan mengisi bangsal pesta. Ada sesi doa yang menjadi pokok pesta syukur, tapi sesudah itu, orang-orang kebanyakan setelah makan, memilih menegak minum keras captikus sampai mabuk lalu berdansa dengan riang hingga subuh.
Itu tradisi yang sudah berlangsung empat abad di pesisir Manado Utara sejak kedatangan orang-orang Eropa bersama perang-perang penaklukan, dan juga datang bersama misi penginjilan.
Seperti juga agama Islam yang sudah lebih dulu meletakkan siarNya di sini, yang dibawa para pelaut dan pedagang Kesultanan Mindanao Filipina, Kesultanan Ternate dan Kerajaan Goa Talo, yang kemudian membentuk kampung Islam di belakang pesisir ini. Pemeluk Kristen yang dimulai pada perisitwa Baptisan pertama oleh Peter Diego De Magelhaes di tahun 1563 di muara Sungai Tondano terus berkembang pesat. Gereja dan Masjid berdiri di mana-mana, tapi masyarakat yang hidup di tahun-tahun awal 1980-an itu tetap saja dalam pola hidup singkretis. Tradisi dan ritus bernuansa pagan yang animis dan alifuru masih saja berlangsung dalam keseharian.
Barangkali sama dengan kisah pesisir lain di Nusantara yang tak sekadar mengisahkan debur ombak, perkawinan budaya, atau cerita-cerita nelayan yang terbancak dalam sejarah kemiskinan panjang. Di reruntuk dengan bau garam abadi ini banyak kisah dapat dikenang kembali.
Sudah sejak usia 11, Blengko Dodorobe melakoni pekerjaan sebagai penjaga lampu Kana pada malam hari. Lampu kana, penanda arah labuh perahu pembawa lampu gara-gara yang sejak petang sudah mengapung beberapa mil dari tubir laut.
Lampu kana harus tetap menyala, agar perahu lampu bisa membuat patokan arah. Dari dalam daseng, Blengko harus mengawasi kana yang diletakkan di atas pasir di tepi pantai itu agar tak dipadam angin.
Menjelang subuh, ketika ikan-ikan telah berkumpul di bawah perahu lampu, seorang pendayung mulai mendayung secara perlahan perahu lampu itu mendekati tubir searah nyala lampu kana di atas pasir dijaga Blengko. Pada jarak beberapa depa dari tubir telah menanti perahu pamo siap melepas soma dengan posisi mengepung lampu gara-gara agar ikan yang lena ikut perahu lampu tak bisa keluar lagi. Beberapa perahu londe yang memuat satu dua masanai mengelilingi arah pelompong bui yang dikait agak tinggi dengan gala pengait ke atas sema perahu agar ikan tak melompat sekaligus menahan soma agar tetap mencekung, tak pipih karena terjangan arus.
Para masanai yang berada di dua perahu londe di masing-masing ujung soma akan memberikan aba-aba kepada para masanai di darat yang memegang tali Haluan dan tali Kemudi dengan riuh teriakan; “Hela haluang kamudi’’. Teriakan itu diulang berkali-kali dengan alunan suara rendah dan tinggi, sayup dan kasar, seakan nyanyian tradisi dari ritual menangkapi ikan di pisisir ini. Kedua ujung jaring itu harus ditarik dengan Lasau pada posisi sejajar, Lasau, sejenis tali yang dibuat dari ijuk pohon enau. Lasau dipasangi umbai-umbai dari janur daun muda enau .dengan maksud agar ikan-ikan takut keluar dari jalur lasau waktu ditarik karena ada cahaya kuning yang didenyarkan janur.
Saat posisi air sudah sebatas dada, soma akan ditarik melingkar kian mengecil, lalu ikan-ikan yang terjaring dituang ke dalam soma popoji yang sudah terpasang di perahu lampu. Saat-saat seperti itu, Blengko akan memandang semua dengan lega dan riang. Tugasnya sebagai penjaga lampu Kana usai sudah di malam itu. Ia lalu menyalakan unggun kecil dari kayu-kayu yang terdampar yang sudah dikumpulkannya sejak sore agar para masanai yang kedinginan bisa memanaskan tubuh. Di api itu pula ia dan para masanai bisa membakar beberapa ekor ikan untuk disantap sambil menanti pagi.
***
“Tugasmu sejak hari ini memasang dan menjaga lampu Kana. Jangan sampai padam, jangan sampai hilang. Kehidupan kita dan seluruh masanai ada di cahaya lampu ini.” Begitu pesan Om Podung kepada Blengko, ketika pertama kali ia bekerja di soma.
Sejak itu Blengko merawat Kana bagai merawat dirinya. Selalu dibersihkan, digosok dengan abu bekas bakaran pelepah daun kelapa agar tetap mengkilap.
Om Podung, sang juragan soma membuat kana miliknya dari kaleng kuningan, bekas tempat minum prajurit sekutu pada masa perang dunia II. Kaleng itu dipasangi sumbu kain yang terbuat dari bahan kapas, dipilin bulat dengan lembaran aluminium hingga berbentuk bagai selongsong.
Sejak Blengko ditunjuk sebagai penjaga lampu kana, anak kelas 6 SD GMIM itu pada sore hari selalu menyudahi waktu bermain bersama teman-temannya pada pukul 17.30. Ia kemudian pergi ke Daseng mencukupkan isian minyak tanah ke dalam tabung kana, lalu menarik sumbunya deng tang agar kembali menjorok keluar dari selongsong. Kadang-kadang ia ikut membatu para pekerja lainnya mengangkat soma dari gelagar-gelagar yang terbuat dari kayu dan bambu tempat penjemuran untuk dimuat ke dalam perahu Pamo. Bau sepat busuk dan anyir celupan getah kayu Ting sebagai bahan pengawet serat-serat soma segera merambat kehidungnya, merangsang hidung kecilnya beringus. Pelak-pelak berwarna coklat dari ingus yang mengering selalu kelihatan di pipinnya. Ia juga sering mengisi pula minyak tanah ke dalam tabung puluhan lampu Petromax yang akan dipakai di perahu gara-gara.
Para Masanai dewasa yang bekerja di soma itu amat menyayangi Blengko karena kerajinannya. Atas kerajinannya itu, di pagi hari seusai soma didamparkan, sang Masanai kecil ini selalu kebagian jatah ikan makan lebih yang terkumpul dari pemberian para masanai dewasa yang menyayanginya. Kelebihan jatah ikan makan itu dijualnya pada para pembeli yang selalu datang di pagi hari ke pantai itu. Uang hasil jualan ikan ditambah jatah uang masa bulan purnama saat soma tidak melaut selalu diserahkannya pada Oma sebagai tambahan biaya hidup keluarga yang selalu berat dan sulit untuk dicukupi.
Bila laut lagi badai, masa-masa sulit akan menyaput hidup para masanai. Waktu seperti itu, Oma Dista akan menyuruh Blengko menjual satu dua ekor ayam peliharaannya ke pasar Tuminting. Hasil jualan itu akan dipakai membeli beras, gula, kopi dan garam. Berminggu-minggu Blengko dan Omanya tak makan ikan, kecuali, sayuran yang dipetik dari bedeng milik mereka di samping rumah. Karena, bedeng itu terlalu dekat di jalur air kali, maka pada musim hujan lebat, bendeng itu selalu tersaput banjir. Tapi omanya selalu gigih menanamnya kembali. Begitu Blengko dan Oma Dista menjaga dan mempertahankan hidup. Uang sekolah tidak jadi masalah karena Om Podung pemilik Soma selalu menyisihkan uang untuknya membayar sekolah.
Dari cerita Oma Dista, Blengko mengetahui masa lalu keluargnya. Semasa hidup, Opa Uga dulunya adalah pekerja onderneming dengan gaji pas-pasan di kebun-kebun kelapa yang membentang dari muara kali Tondano (kuala Jengki) hingga muara kali Bailang Tumumpa di masa penjajahan Belanda. Ia tak begitu mengenal ayah dan ibunya, kecuali dari cerita Opanya dimana kedua orang tuanya itu tewas tenggelam dalam kecelakaan laut itu.
Pada masa kemerdekaan, ketika onderneming-onderneming jatuh ke tangan orang-orang Cina, Opanya kehilangan perkerjaan utama sebagai pembersih semak dan buruh naik kelapa. Rumah-rumah gubuk para pekerja di lahan onderneming itu digusur dengan semana-mena oleh tuan tanah yang baru. Kendati sudah turun temurun kakek-kakeknya menjadi pekerja di lahan onderneming, tapi ketika perkebunan yang dikelola kolonial ini dinasionalisasi, para pekerja tidak mendapatkan hak sepetak pun atas lahan garapan mereka. Mereka justru diusir dari lahan-lahan yang kini telah dijual ke pedagang Cina. Kelompok-kelompok keluarga pekerja onderneming akhirnya membangun gubuk-gubuk tempat tinggal di pinggiran kali kecil di samping lahan eks onderneming. Kali yang membelah kampung Bitung Karangria itu berhulu di kampung Pece dan kampung Islam. Kawasan belakang ini merupakan areal perkebunan salak dengan lembah-lembah berawa yang ditumbuhi kayu-kayu Mas.
Rumah Oma Dista dan Blengko juga di antara rumah-rumah gubuk dengan tiang-tiang kayu bulat berdinding cecahan-cecahan bambu air dan anyaman bambu pitate dengan atap daun-daun Bobo.
Penduduk kampung lainnya adalah pemilik-pemilik tanah pasini yang sudah turun-temurun. Beberapa pendatang mengontrak tanah di lahan-lahan pasini itu untuk membangun rumah sementara. Pesisir ini penuh sesak. Kemiskinan kian mendapatkan bentuknya yang sempurna. Laut satu-satunya harapan. Dan harapan itu kini kian terancam. Para pemilik modal telah mengoperasikan kapal-kapal jaring besar, dan pukat-pukat harimau. Kultur nelayan tradisional pun mulai menemui jalan buntu.
***
“Nah. Tuan moga suka dengan tradisi menangkap ikan dalam kultur bahari kita itu. Sayangnya, tradisi menangkap ikan yang sangat eksotik ini sudah punah kini.” Kita bangsa laut tuan, apa yang tersisa dari kebesaran tradisi laut itu kini? Tentang keterhilangan itu aku aku sempat menulis puisi begini:
tiangtiang gelagar kayu ting
menyimpan bau jaringjaring kering
batubatu kian kemari membantai tradisi pantai

di laut sana
pukatpukat harimau menebarkan maut ke seluruh isi laut
benih benih ikan, benihbenih kegembiraan diledakkan

apalagi dapat aku larung
soma dampar selesai berhitung dengan burungburung

tak ada lagi musim pasang belo
subuh sembab, senyap oleh lendir dan maut

teriakan hela haluang kamudi
derap kaki para penarik tali lasau
ramai pesta bau bakaran ikan di tubuh subuh
lesap ke dalam makam bebatu
abad sudah 21

di tahuntahun 1980-an
masanaimasanai menyesap semua kesedihan sejarah pasir
tandusang hilang, kana padam diabadi kegelapan

pesta volka katrili polines yang anggun
nelayannelayan mengenakan kemeja lengan panjang
dasi hitam, rambut pipih ke kulit kepala tak lagi mengangguk
perempuanperempuan dengan taklim disungguhkan peradaban

saman aneh telah tiba berbagi mabuk dansadansi mesum

cekung teluk, jalan boulevard
borjuisborjuis hidup bagai kelelawar
memamah habis pagi tak berdenyar

Tuan langsung saja tinggalkan dulu puisi yang di atas itu. Aku kembali lagi dalam kisah Blengko saja tuan. Tentu tuan ingin bacaan yang lebih realistais tentang kondisi sosial di tengah perkampungan pesisir ini. Berikut adalah sebuah kejadian yang nyaris sehari-hari terjadi di perkampungan ini:
“Farek. Pendo!” Tante Dince memekik makian. Kesalnya sudah di ubun-ubun. Ia merobek baju dasternya. Gunduk payudaranya menyembul keluar setengah batas. Putingnya nyaris bisa ketatap. Pinggiran warna cokelatnya sudah kelihatan. Seperti bulan setengah di tengah kabut berhujan.
Ungke, suaminya, menyeringai ke istrinya yang lagi merajuk itu. Pemandangan bulan setengah di kabut berhujan yang menggembul itu menggoda Ungke. Ungke tiba- tiba terseret fantasi senggamah. Tapi ditepisnya cepat. Amarahnya juga terasa mulai mencari gerak ledak.
Sekali lagi tante Dince bicara kasar, Ungke akan segera melabraknya. Kemungkinan itu sangat kuat karena Ungke mulai mencari-cari dengan matanya yang selidik barang-barang di sekitarnya yang dapat digunakan untuk menghantam Istrinya itu. Dince juga tak kalah, ia sedang menanti reaksi suaminya. Ia telah siap bertarung apapun resiko yang menimpanya akan diterimanya.Ketegangan sepasang suami istri itu tinggal menanti pematik untuk berkobar jadi perang besar.
Lasau, anak mereka telah menyingkir ke kamar. Anak lelaki itu menutup telinganya dengan bantal. Ia betul-betul begitu gugup menanti detik-detik menyerupai kiamat di tengah kedua orang tuanya. Lasau selalu begitu setiap kali kedua orang tuanya bertengkar. Anak-anak lain juga begitu di kampung pesisir ini. Pertengkaran rumah tangga selalu ramai dan berakhir dengan kerusakkan barang yang banyak. Bahkan ada yang berujung pada perceraian, cidera tubuh yang serius, bahkan kematian. Lombroso, agaknya benar, dimana manusia memiliki sifat hewani yang diturunkan dari nenek moyang manusia. Kemiskinan menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya tindakan kejahatan. Ketimpangan sosial budaya di pesisir ini juga berimplikasi pada sebagian besar populasi penduduk kedalam situasi tertekan. Akibat dari tekanan itu, tidak sedikit penduduk terlibat berbagai tindak kriminal.
Dince masih duduk seenaknya di dego dengan kedua kaki terangkat di atasnya hingga lututnya menyangga kedua payudaranya. bebukit gembul yang masih semarak ototnya itu kian semburat keluar. Dasternya terkengkeng tanpa menutupi paha. Celana dalam berwarna gelap kelihatan dari depan persis mencuatkan gambar samar arsitektur vagina yang bukitnya menggunduk di balik celana persis di celah kedua paha yang putih. Paha dan betisnya masih mulus, tanpa pernik kudis.
“Kalau maso anging bru rasa!” kelakar Ungke coba meredahkan suasanan, sambil menyesap kopinya. Sebatang rokok disulutnya. Dince tak bergeming. Tatapan perempuan itu lurus ke laut, meski sesungguhnya ia tak mengamati apa-apa di laut lepas itu, sebab, pikirannya semata tertuju pada Ungke. Ia terus menanti, dan menanti reaksi lelaki itu, reaksi yang bisa menjadi penyulut pertempuran. Anjing lelaki hitam milik mereka menggonggong didekat Dince. Anjing itu terpikat melihat anjing tetangga yang perempuan menggoyang-goyang pantat dan ekornya yang seksi. Merasa terusik, anjing itu dihantam Dince dengan sandal Jepang. Anjing memekik dan melompat reflex menabrak meja tempat kopi Ungke ditaruh. Gelas kopi terlontar, isinya berhamburan dari atasnya.
“Puki” teriak Ungke, geram. Dince tetap tak bergeming. Merasa diacuhkan, Ungke kian geram. “Jadi ngana suka selalu ada ikang pendo? Ngana jo itu pi kalao” teriak Ungke sambil bertolak pinggang.
“Badiang jo puki!” balas Dince.Ditampik demikian kasar, Ungke dengan cepat mendekati Dince dan menyambar tamparan ke wajah perempuan itu. Dince terhuyung dari Dego dan jatuh ke pasir. Hanya dalam hitungan beberapa detik, Dince seperti singa betina yang marah, dengan gelap mata langsung menyerbu Ungke. Seketika saja jadilah pergulatan sengit kedua suami istri itu.. Mereka berdua saling banting, saling cakar, saling pukul. Keduanya terguling-guling di atas pasir. Baju Dince sobek-sobek. Celana Ungke tanggal hingga tertinggal calana dalamnya yang punya sobeknya persis dekat lubang anus. Ahay!
Tetangga-tetangga berdatangan. Ada yang melerai, ada yang sekedar menonton. Maklum Dince adalah wanita borgo cantik, jadi merupakan pemandangan menarik jika melihat perempuan itu dengan busana yang sobek.
“Tak kalah menarik dengan penari stripties,”bisik salah seorang lelaki kepada temanya yang sama-sama lebih tertarik melihat Dince yang sudah setengah telanjang itu ketimbang melerai perkelahian suami istri ini. Malahan keduanya berharap, Ungke akan lebih ganas lagi merobek-robek baju istrinya agar semua keindahan yang syur dari tubuh wanita itu terlihat. Alhasil, keduanya sama-sama babak belur, ketika aparat Kepala Jaga menyeret keduanya ke dalam rumah mereka.
***
Maret yang teduh. Purnama bulat penuh terbit tepat pukul 18.00. Lasau, anak lelaki yang juga tumbuh dalam alir kepedihan demi kepedihan itu, tak sepenuhnya menerima perpisahan kedua orang tuanya. Ada rasa sakit yang tampak jelas di hatinya. Ia baru kelas 1 SMP. Otaknya yang masih kecil belum mampu menampung semua pergumulan terbancak ke dalam hatinya. Ia seperti gitar yang sejatinya menyimpan berjuta-juta misteri keindahan bunyi. Tapi , lagu selalu sebatas kemampuan komposisi. Dan hidup semacam partitur-partitur yang terus diaransemen.
Sore itu Lasau sampai di rumah Gubuk Blengko. Kemarin mereka berjanji mau ke pesta tahunan para nelayan, Lasau, nama panggilan buat masanai remaja yang bertugas mengurus tali Lasau di Soma. Namanya sebenarnya Buang, tapi semua masanai memanggilnya Lasau sebagaimana tugasnya di soma.
“Blengko, kau pakailah jaket ini,” kata Oma Dista. Blengko yang sudah di depan rumah balik lagi mendekati Omanya. Sebuah Jaket dari kain dril disodorkan Oma. Blengko mengambilnya dan mengenakannya.
“Ini milik Opa ya?”
“Iya. Itu jaket kesayangan Opamu! Itu jaket gaya Permesta.”
“Opa permesta ya?”
“Iya. Pas ya?”
“Agak kebesaran Oma. Tapi tak apalah. akan kupakai Oma,” jawab Blengko menyenangkan hati Oma Dista. Namun, bagi Oma Dista, ada dua hal yang ia temukan dan harapkan ketika Blengko mengenakan jaket itu. Di sana ia melihat wujud suaminya dalam diri cucunya itu, juga ia amat bahagia bisa melakukan sesuatu yang membahagiakan cucunya. “Bukankah seseorang yang paling berbahagia adalah mereka yang melihat anak dari anak-anaknya,” tanya Oma Dista pada dirinya sendiri.
“Kini aku merasakan makna nubuat dalam kitab suci itu,” gumam Oma Dista juga pada dirinya sendiri.
Lasau dan Blengko bergegas menuju bangsal pesta di halaman rumah Kepala Kampung. Di bangsal, Opa Beji, sang Kepala Kampung sedang memberikan sambutan.
“Barangkali pesta tahunan ini menjadi yang terakhir kita gelar. Suatu ketika, semua ini menjadi sakadar kisah masa silam. Pembangunan kota mulai merampas lahan hidup para nelayan. Jalan-jalan boulevard yang dibangun di pesisir Selatan telah mematikan aktivitas nelayan di sana. Perahu-perahu kehilangan tempat tambat. Soma dampar tak lagi punya pantai untuk menarik lasau. Tak lama lagi, jalan pantai itu akan tembus hingga ke pesisir utara ini. Saya minta nelayan di sini harus segera memikirkan jalan keluar dari belitan persoalan ini. Musuh-musuh nelayan tradisional seperti kita, tak saja datang dari darat dalam bentuk pemusnahan lahan-lahan hidup kita di pesisir. Tapi juga di laut sana, pengoperasian pukat-pukat moderen oleh perusahaan-perusahaan perikanan bermodal besar telah merusak kultur perikanan kita di sini. Penangkapan ikan dengan cara pengeboman, dan kian maraknya aktivitas tambang membuang limbah, juga produksi sampah kota dilepas ke laut membuat habitat perikanan kita hancur. Inilah kenyataan itu. Suatu hari generasi kita di masa depan hanya melihat tumpukkan batu menutup seluruh pantai. Pasir-pasir terkubur jauh di bawahnya. Jalan-jalan lebar membentang membenam semua yang pernah kita meliki di sini. Jalan-jalan ini hanya menjadi tempat perlintasan mobil-mobil kaum kaya. Sementara kita, kita semua, akan terusir oleh para pemilik modal yang didukung pemerintah kota. Bangunan-bangunan besar, mewah akan berdiri di bekas-bekas rumah gubuk kita. Dan generasi kita di kemudian waktu akan menjadi orang asing di tanah-tanah kelahiran nenek moyangnya, di tanah dimana tali pusarnya dimakamkan. Tapi, bagaimana pun sulitnya, hidup ini akan terus berlangsung. Yang bisa beratahan hanya orang-orang yang berani melawan kemiskinan yang di tumpahkan ke atas pundaknya…”
Sambutan Opa Beji membuat suasana terasa mencekam. Sedih. Pemimpin masyarakat itu berani mengecam karena ia mencintai rakyatnya. Kendati, ia pun tak mampu melawan kuasa di atasnya yang senantiasa mencengkeram. Banyak orang kemudian berdiskusi masalah-masalah baru disampaikan itu. Tapi tak berapa lama, Opa Beji tampak memimpin polineis, sebagai tari pembuka pesta. Suasana kemudian ramai dan riang kembali.
Blengko begitu senang menyaksikan tari Katrili dan Volka. Semua menari, meski suasana terasa suram. Mereka berusaha gembira. Untuk sekadar gembira, kaum miskin harus berjuang keras melupakan sesaat seluruh beban-beban hidup yang menindihnya.
Nelayan di sini tak saja para masanai soma, tapi banyak juga nelayan kail yang disebut nelayan Noru. Di pesta syukuran tahunan semua nelayan membaur. Di waktu semacam itu selalu akan menguar aroma keras bau Sopi dan Captikus. Sesi tari perang Cakalele rancak ditarikan para lelaki dengan pedang sambil melototkan mata seramnya menambah semarak suasana. Tapi ada yang mengganjal hati Lasau. Anak itu tampak murung.
“aku akan ikut ayah pulang ke Sangir,” kata Lasau.
“Jadi kau berhenti sekolah juga,” tanya Blengko.
“Ayahku sudah tak mampu menyekolahkanku. Noru tak lagi memberikan hasil. Sejak berpisah dengan ibu, ayahku tak bersemangat lagi,” kata Lasau.
“Ibumu sudah di mana kini?”
“Aku tak tahu persis. Tapi kata ayah, ibu bekerja di Papua.”
“Ibumu kan bisa mengirim uang sekolahmu.”
“Kata ayah, ibu sudah punya suami baru. Ibu mungkin tak ingat lagi padaku,” gumam Lasau sedih.
“Setidaknya kau masih punya ayah dan ibu. Aku cuma punya Oma.”
“Omamu menyayangimu. Tapi aku, tak ada yang menyayangiku.”
Di hari yang ramai, kesedihan membebati hati kedua anak itu. Kesedihan yang maknanya samar-samar dipahami keduanya. Hati mereka yang hitam putih itu kini tercecar. Hal-hal yang tak terpahami itu datang dan mereka tak berdaya. Blengko sendiri sudah dengar dari isu-isu yang cepat menyebar dari mulut-ke mulut tentang ibu sahabatnya itu. Di Papua, Tante Dince sesungguhnya seorang Mollere. Ya. Mollere…pelacur.
Lasau akhirnya pergi bersama ayahnya ke Sangir. Blengko merasa kehilangan sahabatnya itu. Sejak Lasau pergi, Blengko ketambahan tugas baru di Soma. Selain menjaga Kana, ia juga harus menggulung tali lasau sesudah soma didamparkan.
Maraknya pengoperasian rumpon-rumpon kian berdampak pada pendapatan soma dampar. Perolehan ikan kian hari kian menyusut. Pembagian jatah penghasilan saat bulan purnama terus mengecil.
Dua tahun kemudian, aktivitas soma dampar di pesisir Bitung Karangria akhirnya hilang. Aktivitas penangkapan ikan modern yang dioperasikan perusahaan-perusahaan besar yang melepas rumpon-rumpon di laut lepas telah merampas semua peluang nelayan tradisional yang beroperasi di kawasan laut pesisir.
Semua usaha soma dampar gulung tikar. Biaya operasional dan pendepatan tidak lagi seimbang. Juragan-juragan soma dampar terpaksa menghentikan aktivitas melaut mereka. Mereka mencoba meraih peruntungan lewat berdagang kecil-kecilan lewat warung atau tibotibo ikan di pasar-pasar tradisional.
Nelayan Noru tak lagi mendapatkan hasil yang cukup untuk membiayai hidup. Penganguran dan kemiskinan kian merebak. Ada yang mulai alih profesi menjadi kuli bangunan. Ada yang pergi bekerja di toko-toko milik orang Cina meski dengan gaji pas-pasan dan diperlakukan seperti babu.
Blengko, yang sudah kelas dua SMP terpaksa bergantung hidup dari aktivitas mengail di tubir pada sore hari. Penghasilannya sangat tidak menentu. Omanya sudah 73 tahun dan sakit-sakitan.
Suatu ketika, Oma Dista sangat membutuhkan uang untuk membeli obat. Musim berangin dan ombaknya kencang membuat Blengko tak bisa melaut. Ayam peliharaan Oma Dista telah habis dijual menalangi kehidupan sehari-hari dan uang sekolah Blengko.
Untuk mendapatkan uang membeli obat, Blengko terpaksa mencuri kelapa milik juragan cina yang menguasai lahan eks onderneming. Sialnya, ia tertangkap penjaga kebun. Sore itu, Blengko langsung diseret ke kantor Polsek.
Kabar tertangkapnya Blengko membuat Oma Dista syok berat. Pada tengah malam Oma Dista meninggal dunia. Blengko amat terpukul dengan kejadian itu. Tiba-tiba ia merasa kehilangan semua yang dimilikinya. Kendati kemudian Blengko dibebaskan polisi, tapi hatinya terlanjur hancur oleh kejadian yang kini dihadapinya.
Beberapa hari setelah pemakaman Oma Dista, Blengko kian terperangkap dalam perasaan amat bersalah. “Andai aku tak mencuri, oma pasti masih hidup,” begitu gumamnya menyesali dirinya sendiri. Di tengah putus asa itu, Blengko merasa tak berarti lagi hidupnya. Ia memutuskan bunuh diri.
Tanpa berpikir lagi, ia mulai mendayung perahu Londe yang sering dipinjamnya pada seorang tentangga. Ia tak peduli cuaca yang kencang. Ia terus mendayung dan mendayung. Ombak demi ombak dilewatinya. Tapi maut mulai mengintainya. Sebuah terjangan ombak besar melontarkan Perahu Blengko. Londe itu pecah. Blengko digulung ombak dan terseret.
Dalam keadaan menakutkan itu, ia merasa ada tangan yang menariknya keluar dari air, mengangkatnya ke perahu. Di atas perahu Blengko melihat sosok orang yang menolongnya itu.
“Oma…ternyata Oma menolongku. Tapi, bukankah Oma telah…”
“Kau harus kembali,” potong Oma Dista. Wajah perempuan tua itu begitu sedih, sewarna langit yang seluruhnya biru.
“Tapi aku tak ingin hidup tanpa Oma. Oma meninggal karena marah aku mencuri,” kata Blengko terisak.
“Tidak. Memang sudah waktunya Oma istirahat nak. Di dunia kamu tidak sendiri. Kasih sayangku bersamamu. Tuhan juga bersamamu. Untuk tujuan apapun jangan mencuri!”
Blengko mengangguk dan memeluk Omanya. Ia kembali merasakan kehangatan pelukan Omanya yang selalu dirasakannya sejak ia kecil. “Aku tak mau pergi dari Oma,” rintih Blengko.
“Kau harus kembali. Ketika kau hidup kau harus menjalani. Hidup bukan tentang pilihan, tapi tentang menjalani. Ada waktu kita bertemu kembali nak,” tutur Oma Dista sambil melonggarkan pelukannya.
“Di sana, ada lampu Kana menantimu. Itu pantaimu. Pergilah!”
Blengko tiba-tiba melihat cahaya lampu Kana yang selalu dipasanginya itu di atas pasir tak jauh dari perahu yang dinaiki Oma Dista mengapung.
“Pergilah. Jalani hidupmu,” kata Oma, lalu mendorong Blengko dari perahu. Blengko terlontar, dan sadarkan diri.
Orang-orang akhirnya bisa bernafas lega. Tidak sia-sia mereka pergi melawan ombak menolong Blengko.
Seorang pendeta berdiri di dekat bale-bale tempat Blengko dibaringkan. “Syukur kau sudah sadar Blengko,” kata pendeta.
Om Podung, juragan soma tempat dulu Blengko bekerja langsung merangkul Blengko. Para tetangga banyak yang berkumpul dengan wajah penuh pengasihan.
“Jangan bunuh diri lagi Blengko,” bisik Om Podung.
Blengko tak bisa berkata-kata lagi, ia merasa betapa semua orang sangat menyayanginya ketika itu.
“Hidup kita semua memang lagi sulit, tapi jangan menyerah Blengko,” kata Om Podung, “mulai sekarang kau tinggal denganku, Kau bekerja di rumahku. Kau harus terus sekolah. Satu saat kau harus jadi orang yang berguna bagi masyarakat di sini,” tambah Om Podung.
***
Begitu ceritanya tuan. Nasib kaum miskin negeri ini begitu miris. Tapi adakah orang kaya mau menangis untuk tragika semacam ini? Angka bunuh diri kian tinggi. Tapi angka petinggi yang korupsi juga tak kalah melangit. Ada apa dengan negara kita ini?
Aku ingin sesaat membawamu ke ingatan masa lalu, ke tahun-tahun ketika perang Permesta berkobar. Apa yang sesungguhnya penyulut pergolakan di Timur Indonesia itu, kalau bukan pembangunan di Indonesia Timur yang dianggap sebelah mata oleh pemerintah Pusat di Jakarta. Jakarta bagai gurita raksasa yang mencengkram seluruh sendi hidup negeri ini.
Tentu tuan ingin merenung sedikit. Baiklah aku ingin berbagi puisi berikut ini:
dari tanjung ke tanjung bau abu para hantu
merekatkan bebatu sebentar tumbuh benteng api
mendagangi tubuh tanahmu

dunia ketiga swalayan asing bagi diri

aku mau perang di sini
di atas laut bernyanyi
mengejar waktu begitu cepat berlari

bagaimana menyusun kembali
belulangbelulang retak ini
pupus berulangkali

dengan hati nabi
pertempuran harus dimulai
sebelum esok tak kita miliki

Tuan biar kutambah beberapa bait puisi yang lain, agar permenunganmu kian dalam, kian bising, kian mencengkam hati:
setelah hujan kemarau bermula
merang ilalang terbang mencari penampang
kecuali rumah ber-ac, dan mobilmobil berkecepatan kencang
melompati cuaca selalu datang menampar geram

setumpuk buruh terus tumbuh, luruh
dalam kotakkotak permainan waktu
dan merang itu melumut
menumbuhkan sengat ke liang mulut

kota dan semaksemaknya adalah dua dunia
di atas di bawah tiada bertangga

nabinabi dimana katakata itu mati?

sebuah ladang dari kisah kitabkitab lamun para rasul
membersitkan tangisan ke seluruh abad
menambat tergesagesa
membekap mimpi jangan sampai terjaga

adakah langit di ujung mati ?

di tengah sawah kakikaki mengeriput
mencabuti ilalang terus kalian tumbuhkan

tapi aku dan bajakku terus mengais ladang
setiap kali kamu hancurkan

aku mau menanam perlawanan

Tentu Tuan ingin mendapatkan akhir dari kisah memilukan ini. Baiklah, aku jelaskan: Blengko dalam kisah ini adalah aku. Dengan pertolongan Om Podung yang sudah kuanggap ayahku sendiri, serta kebaikan hati seluruh keluarga itu yang telah mengganggap aku anak bahkan saudara sedarah mereka, maka hingga kini aku masih hidup.
Aku berhasil menyelesaikan pendidikan di Universitas Sam Ratulangi Manado, pada Fukultas Sastra, jurusan Sastra Indonesia. Aku sulit mendapatkan pekerjaan di kantor pemerintah, karena tidak ada uang sogok dan koneksi. Aku pernah bekerja sebagai wartawan pada sebuah Koran lokal di Manado, tapi kemudian memilih berhenti, karena kami para reporter dipaksa harus menyetor uang upeti ke kantor. Upeti sebesar 30 sampai 50 juta rupiah perbulan itu bukan angka yang kecil. Reporter dipaksa menulis Berita Berbayar atau kami singkat BB untuk memenuhi target upeti. Aku terpaksa berhenti, karena berkarier di industri media massa, masa kini, hanya menjadikanku penipu dan pembohong sejati.
Gigi-gigi tajam neoliberal ternyata berhasil menyobek-nyobek seluruh daya hidup bangsa kita. Merasuk ke seluruh system politik berbangsa dan bernegara. Tak ada lagi yang bebas dari patukannya. Aku dan Tuan juga korban. Neoliberal juga menjatuhkan Tuhan sebagai wujud yang patut di bela dengan tangan dan pikiran manusia.
Tuang Presiden, selamat menyesap kopi di senja ini, coba luangkan waktu sedikit mendengar kembali lagu dari Wage Rudolf Supratman “Indonesia Raya”, pasti kopinya terasa nikmat. Tak perlu mesti dengan prosesi penaikan bendera. Untuk kali ini cukup dengan bacaan puisi berikut ini:
tugu peringatan peperangan itu
membawaku bau peluru, sengat batu
sedih biru

angin menyelimutinya
berulangkali menerjemahkan sunyi
runtuh ke akarakar lumut

begitu getir mendekapi bau pedih
selalu menguar dari liang tanah
di mana rebah bangkaibangkai
membawa beribu luka, beribu katakata

semua meruyup kisah gelisah
dengan asap meratapi nyanyian hati
mengambang tanpa temali

orangorang kehilangan kekasih
mengisaki hujan dengan segala kegemetarannya
menyelinapkan darah mereka ke tubuhtubuh sepi
seorang bayi, ibu, saudari, bapak, dan masih banyak lagi
tak bisa disebut lagi, dimaknai lagi

--karena mati tak akan membawa mereka kembali--

begitu saja tumpah ke atas tugu ini
bah peperangan, nyawanyawa cahaya
lingsir ke dalam cadar kabut
gugup menyelesaikan erang dan riang yang remuk
pada detikdetik tanpa cuaca

doadoa pecah dalam raung
tibatiba menderam bersama ngilu kemboja
kehilangan seluruh pucuknya
ketika bungabunga bergelantungan begitu sanwa, begitu merah
di tengah udara seakanakan melepas seluruh nyawanya

dan kita membuatnya hidup kembali
pada analogi tiang, kotak dengan bola bumi yang miring
dalam berpasang mata tak mampu menangkup
kisah lampau itu ke dalam kini lebih maut lagi

Tamat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Drama Rohani Untuk 6 Orang

Minahasa so perlu Bakera